Dari beberapa literature, zakat mempunyai arti suci, berkembang, berkah, tumbuh, bersih dan baik. Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang bersifat ibadah dan sosial, yang kewajibannya sering digandengkan dengan kewajiban shalat. Namun Zakat secara syariah terdapat beberapa definisi zakat yang dikemukakan oleh ulama mazhab, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Ulama mazhab Maliki mendefinisikan zakat adalah mengeluarkan bagian tertentu dari harta tertentu yang telah mencapai satu nisab bagi orang yang berhak menerimanya, dengan ketentuan harta itu milik sempurna, telah haul, dan bukan merupakan barang tambang.
2. Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan zakat adalah pemilikan bagian tertentu yang dimiliki seseorang berdasarkan ketetapan Allah SWT.
3. Ulama Mazhab Syafi’i mendefinisikan zakat adalah sesuatu yang dikeluarkan dari harta atau jiwa dengan cara tertentu.
4. Ulama Mazhab Hambali mendefinisikan zakat adalah hak wajib pada harta tertentu pada waktu yang tertentu pula .
Dari beberapa definisi zakat yang diberikan oleh para Imam Mazhab, tentunya antara satu definisi dengan definisi lainnya tidak terjadi perbedaan yang sangat jauh. Namun dapat ditarik garis tengah bahwa zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mempunyai kelebihan harta untuk menyalurkannya kepada asnaf zakat yang delapan sebagaimana yang terdapat di dalam surat at-Taubah: 60.
Dalam sejarah, rukun zakat dikerjakan oleh umat Islam setelah mengerti dengan benar tentang arti shalat lima waktu secara berjama’ah, dimana dua kalimah syahadat telah benar-benar meresap ke dalam hati dan mewujudkan amal shaleh. Perintah mengeluarkan zakat ini mulai berlangsung pada tahun ke II Hijriah, dimana Muslimin dan kesatuan sosialnya telah kokoh dan kuat. Kekuatan kaum Muslimin yang telah menegakkan satu kebenaran dalam masyarakat telah di atur terikat dalam rasa persatuan yang amat kokoh dan kuat terkemas rapi dalam shalat lima waktu, hidup dalam persamaan dan persaudaraan yang mesra di masjid.
Diantara iman yang menjadi sifat dan sikap seorang mukmin dengan ikhlas melaksanakan zakat adalah berkat ajaran dan didikan shalat berjama’ah. Dari keterangan di atas, menunjukkan bahwa kedudukan sistem zakat dalam Islam sangatlah penting dalam hidup matinya umat Islam itu sendiri. Sebagai individu, tentunya tidak akan lahir ke dunia hanya membawa roh semata, demikian juga Islam tidak akan dapat lahir dan tumbuh kuat dan kuasa, apabila di dalam perjalanannya tidak memperoleh pelajaran dan pendidikan ilmu tentang zakat yang secara nyata menjadi dasar dalam kehidupan ekonomi Islam.
Begitu seriusnya kedudukan zakat ini, sehingga pada awal kekhalifahan Abu Bakar dimana telah muncul orang-orang yang melakukan pembangkangan untuk menunaikan zakat, oleh sebab itu khalifah melakukan ijtihad dengan memerangi mereka. Khalifah Abu Bakar menyatakan: "Demi Allah, Saya akan perangi orang yang membedakan antara shalat dan zakat, karena zakat itu karena zakat itu hak harta; Demi Allah! kalau sekiranya mereka itu tidak menyerahkan anak-anak unta yang dahulu mereka serahkan kepada Rasulullah saw, saya akan perangi mereka berdasarkan keengganan tersebut." (HR. Abu Daud) .
Begitu seriusnya komitmen Islam dalam menanggulangi kaum dhuafa secara continue dan sistematis. Untuk mengakomodir jumlah kaum dhuafa yang jumlahnya sangat banyak, pada saat sekarang ini para amilin menempuh upaya dengan menyalurkan zakat dalam bentuk Produktif. Sebenarnya, apabila dikaji lebih jauh, sejak dahulu pemanfaatan zakat dapat digolongkan kepada empat bentuk:
1. Bersifat konsumtif tradisional yaitu proses dimana pembagian langsung kepada para mustahiq.
2. Bersifat konsumtif kreatif yaitu proses pengkonsumsian dalam bentuk lain dari barangnya semula, seperti di berikan dalam bentuk beasiswa, gerabah, cangkul dan sebagainya.
3. Bersifat produktif tradisional yaitu proses pemberian zakat diberikan dalam bentuk benda atau barang yang diketahui produktif untuk satuan daerah yang mengelola zakat. Seperti pemberian kambing, sapi, becak dan sebagainya.
4. Bersifat produktif kreatif yaitu proses perwujudan pemberian zakat dalam bentuk permodalan bergulir baik untuk usaha program sosial, home industri atau pemberian tambahan modal usaha kecil.
Penyaluran zakat secara produktif ini pernah terjadi di zaman Rasulullah SAW. Dikemukakan dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim dari Salim bin Abdillah bin Umar dari ayahnya, bahwa Rasulullah saw telah memberikan zakat kepadanya lalu menyuruhnya untuk dikembangkan atau disedekahkan lagi. Menurut Didin Hafiduddin dalam buku Panduan Zakat, dana zakat bukan pemberian sesuap nasi dalam jangka sehari dua hari, kemudian para mustahiq menjadi miskin kembali, tapi dana zakat itu harus memenuhi kebutuhan hidup secara lebih baik dalam jangka waktu yang relatif lama.
Sejalan dengan pendapat Didin Hafiduddin di atas, Yusuf Qardhawi berpendapat, zakat merupakan ibadah maaliyah ijtimaiyah yang memiliki posisi yang sangat penting, strategis, dan menentukan, baik dari sisi ajaran maupun sisi pembangunan dan kesejahteraan ummat. Dalam buku yang lain, Yusuf Qardhawi juga menyatakan bahwa zakat dapat memberikan solusi dalam masalah kemiskinan, pengangguran dan pemerataan ekonomi, apabila dilakukan secara optimal.
Penjelasan Didin Hafiduddin dan Yusuf Qardhawi di atas telah menunjukkan kepada kita bahwa zakat harus dikelola dengan baik, karena zakat merupakan salah satu sumber pemasukan dana yang sangat potensial untuk menjadi alternatif bagi pemberdayaan ekonomi umat. Oleh sebab itu, melalui pemberdayaan ekonomi produktif ini diharapkan nantinya akan lahir muzakki-muzakki baru. Para mustahiq didorong untuk menggunakan dana zakat selain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (konsumtif) juga berorientasi produktif, dengan mengembangkan potensi usaha yang dimilikinya agar terus berkembang.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pembukaan pencanangan Program Aksi Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) 2005 dan pencanangan Tahun Keuangan Mikro 2005 di Jakarta, Sabtu (26/2) meminta para ulama mengkaji penggunaan dana zakat sebagai sumber pembiayaan usaha produktif. Dana zakat yang terkumpul tidak hanya digunakan untuk urusan konsumtif tapi menjadi sumber pendanaan untuk menggerakkan ekonomi masyarakat. Jadi zakat yang terkumpul bukan hanya untuk ibadah dalam arti memenuhi kebutuhan konsumtif, tapi bisa juga dijadikan sumber pembiayaan. Hal senada juga disampaikan oleh salah seorang pakar ekonomi Islam yaitu Ir. H. Adiwarman Azwar Karim, Ia mengingatkan nilai penting pengelolaan zakat untuk menghasilkan kegiatan ekonomi produktif. Hal serupa juga disampaikan oleh ketua Majelis Perwakilan Ulama Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Muslim Ibrahim dalam acara kajian tingkat tinggi yang diselenggarakan pada tanggal 9 Juni 2007 bertempat di Mesjid raya Banda Aceh dalam makalah beliau yang isinya antara lain: Kalau sanggup bekerja mencari nafkah dan hampir dapat mencukupi dirinya sendiri dan keluarganya, seperti buruh/tukang, pedagang, petani, dan lain-lain, akan tetapi mereka kekurangan sarana, prasarana ataupun modal. Mereka tidak memperoleh hasil sesuai dengan kebutuhannya. Bagi mereka ini dapat diberi sesuatu, misalnya modal usaha. Diharapkan dengan modal ini, mereka akan dapat hidup layak dan malah dapat menjadi muzakki pada masa-masa yang akan datang.
Dengan pola produktif ini, tentunya tidak akan mustahil zakat dapat mempunyai peranan yang sangat penting dalam membuka lapangan pekerjaan baru, meningkatkan derajat hidup orang-orang miskin untuk selalu kekurangan dan meningkatkan tali persaudaraan si kaya dan si miskin. Landasan awal pengelolaan zakat produktif ini adalah bagaimana dana zakat tidak habis dikonsumsi untuk kebutuhan sehari-hari, tetapi lebih bermakna karena digunakan untuk melancarkan usahanya. Bukankah Nabi Muhammad saw telah mengingatkan kita sebagaimana terdapat dalam hadits beliau yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari: "Tidak ada sesuatu makanan yang lebih baik bagi seseorang, melainkan apa yang dihasilkan dari karya tangannya sendiri." Disamping itu ada Pepatah mengatakan, Berikanlah kail, bukan ikannya. Oleh sebab itu, Modal usaha yang digulirkan dari dana zakat diharapkan menjadi kail yang mampu menangkap ikan-ikan yang tersedia di alam. Dengan demikian ia akan dapat berusaha sendiri dalam meningkatkan tingkat perekonomiannya sehari-hari.
Kemudian, kewajiban lain yang harus dilakukan pengelola zakat setelah menyalurkan zakat secara produktif adalah melakukan pembinaan dan pendampingan kepada para mustahiq agar kegiatan usahanya dapat berjalan dengan baik. Pembinaan dan pendampingan tidak hanya diberikan untuk memperkuat sisi rohani mustahiq, tetapi juga sisi manajerial dan kemampuan wirausahanya. Harapannya, dengan kemampuan tersebut kehidupannya akan lebih sejahtera. Fakta yang berkembang di lapangan menunjukkan, pengentasan kemiskinan seakan-akan menjadi tanggung jawab negara sepenuhnya. Berkaca pada sejarah, melalui instrumen zakat, kita melihat alternatif lain yang teruji dalam mensejahterakan masyarakat. Tentu saja butuh kapasitas lebih dari pengelola zakat untuk mengimplementasikan konsep pemberdayaan ini, baik dari segi sumber daya manusia (SDM) maupun sistem yang dimilikinya.
Dalam penyaluran zakat produktif, ketrampilan khusus mustahiq merupakan faktor yang penting disamping ada faktor yang paling penting yaitu kejujuran. Orang yang memiliki ketrampilan khusus ataupun mempunyai bakat berdagang, berhak mendapatkan bagian dari zakat yang ada, agar ia mampu menjalankan profesinya. Diharapkan pada akhirnya, ia mampu mendapatkan penghasilan tetap yang dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Bahkan mencukupi kebutuhan keluarganya dengan teratur dan untuk selamanya. Imam Nawawi yang merupakan ahli tasawuf pada zamannya menjabarkan dalam sebuah hadits: "Sesungguhnya Allah mencintai mukmin yang profesional (mempunyai keahlian). Sedangkan bagi orang yang lemah dan tidak mampu untuk menjalankan ketrampilan, profesi ataupun bekerja untuk mencari nafkah bagi kehidupannya, Islam telah mempunyai suatu hukum yang khusus."
Dalam hal ini, Imam An Nawawi menjelaskan dalam “Majmu” pada pembahasan tentang kadar dan ukuran zakat yang disalurkan kepada fakir miskin yang ia nuqil dari fiqh mazhab Syafi’i: Apabila ia terbiasa dalam melakukan suatu ketrampilan tertentu, maka ia diberikan zakat untuk dapat membeli semua keperluan yang dibutuhkan agar dapat menunjang ketrampilannya tersebut ataupun untuk membeli alat-alatnya, baik dalam harga murah maupun mahal, dengan ukuran tersebut ia mampu mendapatkan keuntungan dari hasil usahanya. Karena itu, ukuran ini berbeda disetiap profesi, ketrampilan, daerah, zaman dan juga orang yang menerimanya. Para Sahabat kami pun telah memberikan pendekatan-pendekatan dalam hal ini dengan ungkapan mereka; Apabila seseorang berprofesi sebagai pedagang jeruk, maka ia mendapatkan zakatnya sebesar lima sampai sepuluh dirham; bila ia berprofesi sebagai pedagang perhiasan, maka ia diberikan zakatnya sepuluh ribu dirham, jika dianggap ia tidak akan mencapai keuntungan kurang darinya …. atau semisal ia adalah seorang yang berprofesi sebagai money changer, maka ia diberikan uang sesuai dengan kebutuhannya tersebut. Dan, apabila seseorang adalah tukang jahit, tukang kayu, tukang daging, atau lainnya, maka ia diberikan uang zakat yang cukup untuk dibelikan barang-barang penunjangnya. Apabila seseorang berprofesi sebagai ahli pertanian, maka ia diberikan zakatnya berupa dana awal yang dapat digunakan membeli alat-alat pertanian secara permanen. Namun apabila seseorang belum menguasai suatu keahlian dan ketrampilan yang dapat menopang dalam memenuhi kehidupan sesuai dengan kebutuhan hidup orang-orang seumurannya dan daerah di mana ia hidup, namun kebutuhannya tersebut tidak hanya diukur dalam setahun.
Pendayagunaan zakat produktif telah dilaksanakan di beberapa negara misalnya Malaysia yang telah menyalurkan zakat produktif dalam bentuk modal usaha, pendidikan, home industri, perusahaan, catering, taylor dan lain sebagainya yang kesemuanya ditujukan dalam rangka untuk lebih cepat meningkatkan tingkat perekonomian kaum dhuafa. Hal ini disampaikan dalam Tuan Haji Sharir bin Mukhtar. Bahkan zakat produktif ini disampaikan hampir seluruh Nara Sumber yang ada diantaranya terdiri dari pakar-pakar zakat se Asia Tenggara.
Di Indonesia, juga tidak kalah dengan Malaysia, misalnya program bantuan becak, modal usaha perdagangan, pelatihan bengkel dan lain sebagainya yang disalurkan oleh Dompet Dhuafa. Di Aceh, penyaluran zakat produktif telah dilaksanakan, namun pada masyarakat kita terkadang timbul polemik. Artinya ada sebahagian masyarakat kita yang beranggapan bahwa zakat harus disalurkan secara penuh (konsumtif) dan tidak boleh bergulir (revoving fund), apabila polemik ini terus terjadi, maka Aceh yang merupakan satu-satunya daerah yang mendapatkan legitimasi untuk melaksanakan syari’at Islam dikhawatirkan tidak akan dapat mengurangi jumlah kaum dhuafa melalui dana zakat, padahal zakat merupakan solusi yang ditawarkan Islam dalam mengurangi jumlah kaum dhuafa. Program penyaluran zakat produktif di Aceh diantaranya dilakukan dalam bentuk pemberian modal usaha (pertanian, perdagangan), home industri, becak, mesin jahit, penggemukan lembu, dan lain sebagainya. Pola yang diterapkan berbeda-beda, ada yang memakai sistem Mudharabah dan Qardhul Hasan. Wallahu ‘Alam Bis Shawab.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
An Nawawi, Majmu' Syarah al Muhadzdzab, Daaru al Fikr, Bairut, 2002
Amiruddin Inoed dkk, Anatomi Fqih Zakat, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 6, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2006
Sahri Muhammad, Mekanisme Zakat dan Permodalan Masyarakat Miskin, Malang, Bahtera Press, 2006
Wahyu Dwi Agung dkk, Zakat dan Peran Negara, Jakarta: Forum Zakat (FOZ), 2006
Yusuf Qardhawi, Dauru Al Zakat, terj. Sari Narulita, Spektrum Zakat Dalam Memberdayakan Ekonomi Kerakyatan, Jakarta Timur : Zikrul Hakim, 2005
Tidak ada komentar:
Write komentar