Terjemah Kitab AT-TADZHIB Bab Buyu' Wal Mu'amalat

 


KITAB AL BUYU’ WAL MU’AMALAT
(JUAL BELI DAN TRANSAKSI DALAM KEHIDUPAN)

Jual beli ada tiga macam: jual beli barang secara langsung dan nyata itu diperbolehkan,(1) jual beli sesuatu yang ditentukan sifat-sifatnya (spesifikasinya) di dalam suatu perjanjian, jual beli seperti ini diperbolehkan asalkan sifat-sifat dimaksud dijamin dapat diwujudkan, dan jual beli barang yang tidak ada ditempat dan tidak dapat disaksikan pada saat transaksi, maka jual beli semacam ini tidak diperbolehkan.(2)

Sah jual beli semua barang yang suci, bermanfaat, dan sebagai hak milik,(3)dan tidak sah jual beli barang yang najis, dan tidak bermanfaat.(4)

(Fasal): Riba itu bisa terjadi pada emas, perak atau bahan makanan,(5)dan tidak diperbolehkan jual beli emas dengan emas atau perak dengan perak, kecuali sama dan naqdan (serah terima langsung).(6)
Tidak diperbolehkan menjual barang yang dibeli sebelum berada dipegang di tangan,(7) tidak boleh membeli daging dengan hewan hidup,(8) dan diperbolehkan menjual emas dengan perak yang lebih volumenya secara naqdan (serah terima langsung).(9)Demikian juga bahan makanan: tidak diperbolehkan menjual bahan makanan sejenis, kecuali harus naqdan,(10)diperbolehkan menjual satu jenis dengan jenis yang lain dengan ada kelebihan asalkan naqdan,(11) dan tidak diperbolehkan melakukan  bai’ul ghoror(jual beli penipuan).(12)

(Fasal): Antara penjual dan pembeli memiliki hak khiyar,  selama belum berpisah,(13)Kedua belah pihak boleh menentukan syarat adanya khiyar sampai dengan tiga hari,(14) apabila didapati barang yang dibeli ternyata cacat, maka pembeli berhak mengembalikan barang tersebut.(15)
Tidak diperbolehkan menjual buah-buahan secara mutlak keculai sesudah jelas-jelas masak,(16) dan tidak diperbolehkan berjual beli yang di dalamnya terdapat berlebih (riba)(17)yang sejenis dalam keadaan masih ruthob (kurma basah), kecuali air susu.(18)

(Fasal): Dianggap sah adanya akad salam (semacam pesan suatu barang)(19) baik tunai atau hutang dengan lima syarat: dengan ciri atau spesifikasi yang jelas, haru satu jenis barang tidak tercampur dengana yang lain, tidak ada unsur api dalam penyerahannya, bukan benda yang tampak sudah ada,(20) dan bukan pula sebagian dari benda yang sudah ada di tempat. Untuk sahnya barang yang dipesan ada delapan persyaratan: ditentukan sifat-sifat barang setelah ditetapkan jenis serta macamnya, untuk menentukan ragam harganya, dijelaskan standar ukurannya sehingga tidak ada hal-hal yang tidak diketahui, apabila tidak tunai, maka ditentukan waktu penyerahannya, barang ahrus ada pada saat serah terima, ditentukan tempat serah terima barang, dikethaui hargnya secara jelas,(21) serah terima dilakukan sebelum kedua belah pihak berpisah,(22) akad salam dianggap final (jadi), tanpa adanya khiyar syarat.(23)

(Fasal): Semua barang yang boleh dijual belikan, maka boleh digadaikan (dijaminkan) dalam hal hutang piutang,(24)apabila sudah menjadi tangungannya secara tetap. Bagi orang yang menggadaikan/menjaminkan barang berhak menarik kembali barangnya, sebelum diserah terimakan,(25)orang yang menggadaikan tidak boleh didenda kecuali apabila melewati batas,(26) apabila sudah menyerahkan sebagian hak yang berpiutang, maka orang yang menggadaikan tidak boleh menarik kembali barang yang digadaikan sebelum dibayar luas secara keseluruhan.

(Fasal): Hajru (membatasi hak kelola harta) terhadap enam orang: anak-anak, orang gila, orang dungu, orang boros terhadap hartanya (tabdzir),(27)orang yang bangkrut akibat terbenam dalam hutang,(28) orang yang sakit keras yang mengkahwatirkan,(29) selebihnya dari sepertiganya,(30) dan budak yang tidak mendapatkan izin untuk berdagang.
Transaksi jual beli yang dilakukan oleh anak-anak, orang gila, dan orang dungu tidak sah hukumnya, sedangkan transaksi jual beli yang dilakukan oleh orang yang sedang mengalami kebangkrutan hukumnya sah terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya, bukan pada hakibat hartanya. Transaksi orang yang sakit keras, yang melebihi dari sepertiga harus menunggu mendapatkan izin dari ahli warisnya setelah dia meninggal nanti, dan transaksi seorang budak akan diperhitungkan setelah dia merdeka nanti.

(Fasal): Shahnya suatu shuluh (islah/perdamaian) harus disertai dengan ikrar (pernyataan lisan)(31)dalam urusan harta, atau yang mengarah kepada harta,(32) ada dua macam ishlah: ibrok (bebas tanpa tuntutan) dan mu’awadloh (ada pengganti).
Adapun yang dinamakan Ibrok ialah: mencukupkan sebagian haknya saja, dan tidak boleh digantungkan dengan persyaratan (tak bersyarat). Sedangkan mu’awadloh: ialah memindahkan haknya kepada pihak lain, dan berlaku hukum jual beli.(33)

Orang diperbolehkan apabila membuka kaca jendelanya(34)atau rembesan air rumahnya ke jalan, selama tidak membahayakan bagi pengguna jalan,(35) dan tidak diperbolehkan masuk ke lorong hak bersama kecuali mendapatkan izin pihak yang terlibat bersama. Dan diperbolehkan menadahulukan kepentingan pemilik hak atas lorong dan tidak boleh mengakhirkannya, kecuali setelah mendapatkan izin mereka.

(Fasal): Syarat-syarat hiwalah (pemindahan hak/tanggung jawawab) ada empat macam:(36) kerelaan orang yang memindahkan haknya, adanya penerimaan oleh orang yang menerima hak, hak tersebut menjadi tanggung jawabnya secara tetap, adanya kesepakatan yang menjadi tanggung jawab pemberi hak dan penerima hak, dalam hal jenis, macam, tuani atau hutang, dan terbebasnya pemberi hak dari tanggung jawab.

(Fasal): Shah hukumnya menjamin hutang yang sudah menjadi tanggungan, apabila diketahui batasnya (jumlahnya),(37) bagi pemilik hak berhak menuntut kepada yang ia kehendaki terhadap penjamin atau orang yang dijamin,(38)apabila penjaminan tersebut sesuai dengan apa yang telah kami jelaskan. Apabila penjamin berhutang, maka dikembalikan kepada orang yang dijamin, apabila hutang dan kekuasaan atas izinnya. Dan tidak shah penjaminan yang majhul (tidak diketahui), dan tidak pula sesuatu yang bukan kewajiban(39) kecuali sebagai akibat dari barang yang dijual.(40)

(Fasal): Jaminan (asuransi) jiwa diperbolehkan, apabila pada orang yang dijamin atas hak adamie.(41)

(Fasal): Untuk Syarikah(usaha bersama) ada lima syarat:(42)hendaknya atas barang bergerak(43) dari uang dirham atau uang dinar, adanya kesepakatan(44) dalam hal jenis dan macamnya, hendaknya harta bersama dicampur menjadi satu, masing-masing pihak mendapatkan izin dari kedua belah pihak utnuk menjalankan usaha, hendaknya keuntungan dan kerugian dibagi berdasarkan prosentasi modal keduanya. Masing-masing pihak berhak untuk membatalkan syirkah tersebut kapan saja ia mengehndaki. Apabila salah satunya meninggal dunia, maka rusaklah syarikah dimaksud.

(Fasal): Semua barang yang boleh dikelola manusia secara sendirian, maka boleh juga dia mewakilkannya kepada orang lain atau menjadi wakil orang lain.(45)
Wakalah (perwakilan) adalah suatu akad (perjanjian) yang diperbolehkan dalam Islam,(46) masing-masing pihak berhak untuk membatalkan perjanjian tersebut kapan saja dia mau, perjanjian tersebut rusak/batal sebab salah satu pihak meninggal dunia, seorang waki harus amanah (terpercaya) terhadap apa yang ada di tangannya dan dalam hal pengelolaannya, dan wakil tidak wajib mengganti kecuali bila ia melakukan penyimpangan.
Seorang wakil tidak boleh menjual atau membeli barang, kecuali harus memenuhi tiga syarat: menjual/membeli dengan harga yang pantas, pembayaran menggunakan mata uang yang berlaku di dalam negeri, tidak boleh menjual/membeli untuk kepentingan dirinya sendiri, dan boleh membuat ikrar pengakuan atas yang diwakilinya tanpa seizin yang mewakilkannya.

(Fasal): Hal-hal yang diikrorkan (diakui)(47)ada dua macam: hak Allah Ta’alaa, dan hak adamie (sesama manusia). Adapun ikrar yang berkaitan dengan hak Allah Ta’alaa, ikrarnya dapat ditarik kembali,(48) sedangkan ikrar yang bekaitan dengan hak adamie (hak sesama manusia), maka tidak shah menarikan kembali apa yang sudah diikrarkannya.
Untuk shahnya suatu ikra diperlukan tiga persyaratan: sudah baligh, berakal sehat, dan ikhtiyar(atas kesadaran sendiri).(49)Apabila ikrar itu berkaitan dengan harta, maka ada syarat keempat yakni: cerdas (pandai).
Apanbila orang berikrar tentang sesuatu yang tidak jelas, maka dimintakan kepada yang bersangkutan untuk menjelaskannya, dan ikrar itu shah dengan pengecualian di dalam kalimat ikrar, dengan catatan bersambung, baik dalam keadaan sehat atau sakit(50) sama saja.

(Fasal): Segala sesuatu yang memungkinkan untuk diambil manfaatnya, dan tetap dalam keadaan utuh barangnya, maka boleh untuk dipinjamkannya,(51)apabila manfaatnya hanya sebagai hasil.(52)

Diperbolehkan pinjam meminjam secara mutlak atau terikat dengan batas waktu tertentu, yakni bagi peminjang diharuskan memberikan jaminan berupa satuan harga apabila terjadi kerusakan.(53)

(Fasal): Barang siapa yang meng-ghoshob (memakai barang tanpa seizin pemiliknya) harta milik orang lain, maka dia wajib mengembalikannya,(54) membayar denda atas kekurangan yang terjadi, dan membayar sewa yang seimbang. Apabila terjadi kerusakan, maka wajib mengganti dengan barang yang seimbang, apabila ada barang yang seimbang, atau diganti dengan harganya apabila tidak ada barang yang seimbang, sebesar harga pada saat terjadinya ghoshob sampai saat terjadinya kerusakan.

(Fasal): Syuf’ah(hak prioritas membeli) diwajibkan bahwa harta itu milik dua orang menjadi satu, bukan sekedar berdekatan antara dua harta, berlaku untuk harta yang dapat dibagi, bukan yang tidak dapat dibagi, dan berlaku untuk semua barang yang tidak bergerak seperti sawah ladang dan lain-lain, dengan harga yang sesuai dengan nilai jual saat itu.(55)Hak syuf’ah tersebut harus dalam waktu cepat, apabila orang menundanya padahal dia memiliki kemampuan untuk menggunakan hak tersebut, maka hak itu menjadi gugur.(56) Apabila seorang lelaki menikahi seorang wanita dengan sibidang tanah(57)dia berhak syuf’ah dengan sistim mahar mitsil. Apabila hak syuf’ah itu dimiliki oleh beberapa orang, maka mereka berhak syuf’ah sebanding dengan hak miliknya.

(Fasal): Qirodl (pemberian modal kerja,  bagi hasil)(58) ada empat macam syarat: modal kerja dalam bentuk niali uang, uang dirham atau dinar, pemilik modal memberikan izin kepada pelaksana untuk mengelola secara mutlak, selama tidak akan memerusak modal pada umumnya, dengan ketentuan pembagian keuntungan yang jelas,(59) tidak dibatasi dengan rentang waktu tertentu. Dan tidak ada kewajiban bagi pelaksana untuk mengganti, kecuali bila mereka melanggar ketentuan,(60)apabila mendapatkan keuntungan, juga sekali waktu mengalami kerugian, maka kerugian ditutup dengan keuntungan yang telah diperoleh.

(Fasal):  Musaqoh (kerjasama dalam pertanian) diperbolehkan untuk tanaman kurma dan anggur,(61)untuk itu ada dua macam syarat: pertama: ditentukan batas waktu tertentu, kedua: ditentukan pembagian yang  jelas hasilnya berupa buahnya. Selanjutnya pekerjaan dalam kerjasama ini ada dua kategori: pekerjaan yang berpengaruh terhadap produktivitas buah, merupakan tanggung jawab pekerja (pelaksana), sedangkan yang berkaitan dengan perbaikan tata tanah menjadi tanggung jawab pemilik harta.

(Fasal): Semua benda yang dapat diambil manfaatnya dengan tetap utuh pisik bendanya boleh dan shah untuk disewakan (diupah),(62)apabila ditentukan manfaatnya dengan dua hal: dalam waktu tertentu atau dengan perbuatan tertentu dan dengan upah segera, kecuali bila dipersyaratkan dengan upah menyusul (di belakang). Ijaroh (sewa/upah) tidak menjadi batal sebab kematian salah satu pihak yang melakukan perjanjian, tetapi bisa menajdi batal (rusak) apabila terjadi kerusakan benda ayng disewakan, dan bagi pemakai jasa tidak dituntut penggantian kecuali apabila dia melakukan pelanggaran.

(Fasal): Ji’alah(hadiah/komisi/sayembara) diperbolehkan dalam Islam, yaitu: misaalnya:  “dengan syarat dapat menemukan kembali sesuatu yang hilang dengan imbalan tertentu”, apabila ada orang telah dapat menemukannya, maka dia berhak mendapatkan imbalan sesuai dengan yang dipersyaratkan (masyrut).(63)

(Fasal): Apabila seorang menyerahkan sebidang tanah kepada pihak lain untuk ditanami, dengan janji akan memberikan bagian tertentu dari hasil produksi pertaniannya, maka hal itu tidak diperbolehkan.(64)Apabila dibayar dengan emas atau perak, atau dengan bahan makanan yang menjadi tanggung jawabnya, diperbolehkan.(65)
(Fasal): Ihya-ul mawat (mengolah lahan tidur) diperbolehkan dalam Islam dengan dua syarat: orang yang membuka lahan adalah beragama Islam, tanah yang dibuka adalah tanah yang merdeka, tidak dimiliki oleh orang Islam.(66) Tatacara membuka lahan disesuaikan dengan apa yang sudah berlaku kebiasaan pembuka lahan setempat.

Wajib berderma dengan air dengan tiga sayarat: air kelebihan dari kebutuhannya,(67) orang lain sangat membutuhkan air tersebut untuk dirinya sendiri atau untuk hewan ternaknya, air itu berada di sumur atau mata air.(68)

(Fasal): Waqof diperbolehkan dengan tiga sayarat: Sesuatu yang dapat ambil manfaatnya dan bendanya tetap utuh, hendaknya ada bendanya pada saat diwaqofkan dan kepada generasi yang tidak terputus,(69) dan bukan untuk kepentingan yang dilarang oleh syara’.(70)
Waqof itu berdasarkan persyaratan yang diberikan oleh orang yang berwaqof: dari hal siapa yang didahulukan, di akhirkan, atau sama-sama, atau yang diutamakan.(71)
(Fasal): Setiap benda yang boleh diperjualbelikan, maka boleh pula dihibahkan,(72) dan tidak tetap hibah itu kecuali setelah berada di tangan penerimanya,(73)apabila penerima yang diberi hibah sudah menerimanya, maka orang yang memberikan hibah tidak berhak untuk menarik kembali barang yang dihibahkan, kecuali dia adalah orang tua penerima hibah.(74)

Apabila seorang memberikan tempat tinggal (al ‘umraa atau ar ruqbaa), itu adalah hak bagi yang diberi tempat tinggal atau ahli waris sesudahnya.(75)
(Fasal): Apabila orang menemukan luqothoh (barang tak bertuan) di tanah yang tak bertuan atau di jalanan, maka dia berhak memilih antara mengambil atau membiarkannya, apabila dia mengambilnya itu lebih baik dibanding membiarkannya, selama dia kuat mental untuk menjaga hak-hak barang tersebut. Apabila dia mengambilnya, maka dia wajib mengetahui enam hal: wadahnya, wadah-wadah kecil di dalamnya, tali pengikatnya, jenis barangnya, jumlahnya, dan timbangan beratnya. Dia harus menyimpannya pada tempat yang sesuai dengan barangnya. Kemudian apabila dia berkehendak untuk memilikinya, maka dia wajib mengumumkan selama satu tahun di pintu masjid, atau di tempat di mana barang tersebut telah ditemukan, apabila ternyata tidak ditemukan pemiliknya, maka dia berhak memilikinya dengan syarat adanya jaminan.(76)
Barang luqothoh itu ada empat kategori:
Pertama: barang yang abadi (tidak akan rusak) dalam waktu lama, maka hukumnya seperti yang disebutkan diatas.
Kedua: barang yang gampang rusak sepeti makanan yang basah, untuk itu boleh memilih antara dua: dimakan sebagai hutang, atau menjualnya dan menyimpan hasil penjualannya.
Ketiga: barang yang akan abadi dengan memerlukan pemrosesan lebih lanjut, seperti ruthob (buah kurma basah), maka dia  boleh berbuat apa yang membawa kebaikan: menjual kemudian menyimpan uangnya, atau mengeringkan kemudian menyimpannya.
Keempat: barang yang memerlukan biaya seperti hewan ternak, ada dua macam: hewan yang tidak mampu mempertahankan hidupnya sendiri, maka boleh memilih antara memakannya sebagai hutang dari nila jualnya, atau mebiarkannya dengan memberikan makanan atau biaya, atau menjualnya dan menyimpan hasil penjualannya. Hewan yang mampu mempertahankan hidupnya sendiri, apabila didapatkan di padang, maka ditinggalkan, apabila ditemukan di perkampungan, maka boleh meilih di antara tiga alternatif seperti tersebut di atas.(77)
(Fasal): Apabila ditemukan seorang anak terlantar di tengah jalan, maka  memungutnya, mendidiknya, dan mengasuhnya hukumnya fardlu kifayah.(78) Dan tidak ditempatkan dia kecuali kepada tangan orang yang dapat dieprcaya, apabila beserta anak tersebut didapati harta, maka hakim menginfaqkan harta tersebut, apabila tidak didapati ahrta pada anak tersebut, maka nafkah hidupnya sehari-hari ditanggung oleh baitul maal (perbendaharaan negara).(79)

(Fasal): Harta titipan adalah sebagai amanat,(80)dan disunnatkan untuk menerimanya bagi orang yang mampu memegang amanat, dan pemegang amanat tidak dituntut ganti rugi, kecuali bila melampaui batas, pernyataan penerima titipan lebih diterima dalam hal menolak orang yang memberi amanat. Bagi orang yang menerima rtitipan wajib menjaganya dalam tempat ayng sesuai dengan yang diamanatkan kepadanya, apabila diminta kembali oleh pemiliknya dan dia tidak memberikannya – padahal dia mampu untuk berbuat demikian – sehingga barang titipan tersebut menjadi rusak, maka dia wajib menggantinya.



(1)  Dasar disyari’atkannya jual beli adalah ayat-ayat al Qur’an, antara lain firman Allah Ta’alaa: “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (al Baqoroh:275). Dan beberapa hAdits Nabi saw, antara lain hadits riwayat al Hakim (II/10), Rasulullah saw. ditanya: Manakah pekerjaan yang terbaik? Beliau menjawab: “Perbuatan seorang dengan tangannya sendiri, dan semua bentuk jual beli yang mabrur atau baik”, artinya tidak ada manipulasi di dalamnya dan tidak ada khiyanat.
(2)  Oleh karena suatu penipuan, atau dapat diduga akan terjadinya manipulasi atau penipuan, Rasulullah saw. telah melarang   "بيع الغرار" (jual beli penipuan), diriwayatkan oleh Muslim (1513).
(3)  Tidak sah jaul beli sesuatu yang tidak di miliki, berdasarkan sabda Rasulullah saw.: “Tidak ada jual beli kecuali terhadap barang yang dimiliki”, diriwayatkan oleh Abu Dawud (2190).
(4)  Berdasarkan ketentuan syara’, seperti khomer, babi, serta alat-alat untuk perjudian dan lainnya. Hadits riwayat al Bukahry (2121) dan Muslim (1581), dari Jabir ra. bahwasanya dia mendengar Rasulullah saw. bersabda pada hari terbukanya kota Makkah, dan beliau berada di Makkah: “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khomer, bangkai, babi dan patung”. Ditanyakan: wahai Rasulullah, bagaimana pendapat tuan tentang lemak bangkai, sesungguhnya lemak tersebut untuk mengolesi perahu, meminayki kulit, serta untuk minyak lampu (penerangan) bagi manusia? Beliau menjawab: “Jangan, itu haram”. Lalu Rasulullah saw. bersabda ketika itu: “Allah melaknat orang Yahudi, sesungguhnya Allah ketika mengharamkan lemaknya, mereka memrosesnya (dengan melelehkannya untuk dijadikan minyak) lalu menjualnya kemudian mereka memakan uang hasil penjualannya”. Yang dimaksudkan lemak bangkai, termasuk lemak bangkai sapi atau kambing, sebagaimana diberitakan dengan firman Allah kepada orang Yahudi: “Dari sapi dan kambing kami haramkan bagi mereka (Yahudi) lemaknya” (al An’am:146).
(5)  Dijelaskan maknanya sesuai dengan syara’ dala urusan ini. Riba menurut bahasa: kelebihan, menurut syara’: sesuatu transaksi yang jelas-jelas didalamnya terjadi kelebihan (tambahan) dalam bentuk tertentu, menafikan terhadap pokok-pokok tasyri’ Islami (kaidah pembentukan hukum Islam). Transaksi dengan cara riba merupakan dosa besar, dasar keharamannya adalah firman Allah ta’alaa: “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (al Baqoroh: 275). Banyak hadits, antara lain yang diriwayatkan oleh Muslim (1598), dari Jabir ra. ia berkata: Rasulullah saw. melaknat orang yang memakan harta riba, orang yang bersekongkol dalam urusan riba, penulis transaksi riba, dan saksi terjadinya riba. Jabir berkata: mereka itu sama saja, artinya sama-sama berbuat maksiyat dan dosa.
(6)  Hadits riwayat Muslim (1588), dari Abi Hurairoh ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Jual beli emas dengan emas sama beratnya, sama kualitasnya, atau perak dengan perak juga harus sama beratnya dan sama kualitasnya, barang siapa yang menambah atau minta ditambah, maka hal itu riba”. Dalam satu riwayat dari Abi Sa’id ra. (1584): “yadan biyadin” (serah terima langsung) atau disebut pula dengan “naqdan”, artinya adanya serah terima langusng di tempat transaksi terjadi.
(7)  Hadits riwayat al Bukhary (2028), dari Ibnu Abbas ra. ia berkata: Adapun jual beli yang dilarang oleh Rasulullah saw. adalah bahan makanan dijual sampai berada di tangan. Ibnu Abbas menyatakan: Saya tidak memperhitungkan setiap sesuatu kecuali seimbang, atau sejenis bahan makanan tidak boleh dijual sebelum berada di tangan. Hadits riwayat al Hakim bin Khozam ra. ia berkata: Saya bertanya: Wahai Rasulullah, saya menjual barang dagangan, maka mana yang halal dan yang haram bagiku? Beliau menjawab: “Wahai anak saudaraku, janganlah menjual sesuatu sebelum berada di tangan” (al Baihaqy: V/313). Hadits riwayat Abu dawud (3499), dari Ibnu Umar ra. ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang menjual barang dagangan yang baru dibeli, sampai pedagang memindahkannya ke kendaraan atau rumah mereka (sudah diterima).
(8)  Berdasarkan hadits Samuroh ra., bahwasanya Nabi saw. melarang menjual kambing dengan daging, diriwayatkan oleh al Hakim (II/35), ia menyatakan: hadits ini sanadnya shohih, para perowinya orang-orang kuat hafalannya serta kuat. Hadits riwayat Malik di dalam al Muwathok (II/655) mursal, dari Sa’id ibnul Musayyab rohimahullah, bahwasanya Nabi saw.melarang menjual hewan dengan daging.
(9)  Hadits riwayat Muslim (1587), dari Ubadah bin as Shomit ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Emas dibeli dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum,juwawut dengan juwawut, tamar dengan tamar, garam dengan garam …. Harus seimbang dan sama dan yadan biyadin,apabila berbeda jenisnya, maka lakukanlah jual beli sesuai yang kamu kehendaki, asalkan yadan biyadin”. Hadits riwayat al Bukhary (2070), dan Muslim (1589), dari al Barrok bin Azib dan Zaid bin Arqom ra.: Rasulullah saw. melarang jual beli emas dengan perak dengan cara hutang. Pengertian: sesuai dengan yang kamu kehendaki, baik sejenis atau berbeda jenis dengan takaran atau timbangan.
(10)  Hadits riwayat Muslim (1588), dari Abi Hurairoh ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Tamar dengan tamar, gandum dengan gandum, juwawut dengan juwawut, garam dengan garam, sebanding dengan cara yadan biyadin, barang siapa yang memberikan tambahan atau meminta tambahan, maka berarti sudah riba, kecuali apabila barang tersebut berlainan jenisnya”, artinya apabila berbeda jenisnya, maka boleh ada kelebihan asal secara anqdan. Hadits riwayat al Bukhary (2089) dan Muslim (1593), dari Abi Sa’id al Khudry dan Abi Hurairoh ra., bahwsanya rasulullah saw. mempekerjakan seorang lelaki untuk berdagang ke negeri Khoibar, dia datang dengan membawa tamar  berkualitas baik, maak Rasulullah saw. bertanya: “Apakah semua tamar di Khoibar sebaik ini, dia menajwab: Tidak, demi Allah ya Rasulullah, saya membeli satu sho’ di sana dengan dua sho’, dua sho’ dengan tiga sho’. Maka Rasulullah saw. bersabda: “Jangan engkau berbuat demikian, juallah kurma jelek ini dengan uang dirham, lalu belilah tamar berkualitas baik dengan uang dirham tersebut”.
(11)  Perhatikan CK. No: 7 dan 9.
(12)  Yakni semua jual beli yang tidak diketahui bendanya, yang mengakibatkan ragu-ragu antara manfaat dan mafsadahnya (bahayanya), tidak diketahui kepastiannya, seperti jual beli janin hewan masih dalam kandungan, air susu masih di paydara induk hewan, tidak diketahui jenis barangnya, dan lain sebagainya. Hadits riwayat Muslim (1513), dari Abi Hurairoh ra. ia berkata: Rasulullah saw, melarang jual beli kerikil, dan jual beli ghoror. Jual beli kerikil artinya: jual beli terhadap barang yang tidak jelas, pembeli/penjual melemparkan kerikil, mana barang yang terkena kerikil itulah yang dijual/dibeli, ada ulama lain yang menyatakan tidak demikian.
(13)  Hadits riwayat al Bukhary (2005) dan Muslim (1531), dari abdullah bin Umar ra., bahwasanya rasulullah saw. bersabda: “Penjual dan pembeli masing-masing mempunyai hak khiyar terhadap pihak lainnya, selama belum berpisah dari tempat transaksi, kecuali jual beli dengan khiyar” Maksud dengan khiyar: masing-masing pihak berhak untuk melanjutkan jual belinya atau membatalkan jual belinya dan mengembalikan barangnya. Sedangkan pengertian selama belum berpisah (khiyar majelis): salah satunya sudah meninggalkan tempat transaksi, apabila salah satunya sudah meninggalkan tempat, maka jual beli tersebut jadi. Bai’ul khiyar (khiyar syarat) artinya: Apabila salah satu pihak mengatakan kepada pihak lainnya: Pilihlah jadi atau batal jual beli ini? Apabila memilih salah satu antara jadi atau batal, maka pilihan itu berlaku.
(14)  Hadits riwayat al Bukhary (2011) dan Muslim (1533), dari Abdullah bin Uamr ra., bahwasanya ada seorang lelaki menjelaskan kepada Nabi saw. bahwa dia telah ditipu dalam jual beli, maka beliau bersabda: “Apabila engkau berjual beli, katakanlah: tidak ada manipulasi dan tidak ada penipuan. Menurut riwayat al Baihaqy (V/273) dangan sanad hasanL “Kemudian kamu berhak khiyar untuk setiap barang dagangan yang engkau beli selama tiga malam”.
(15)  Hadits riwayat al Bukhary (2041) dan Muslim (1515), dari Abi Hurairoh ra. dari Nabi saw.: “Jangan kamu tinggal diamkan onta dan kambing tidak diperah susunya, barang siapa yang menjual sesudahnya, maka akan tampak jelas setelah onta atau kambing tersebut diperah susunya, kalau pembeli mau silakan pertahankan, bila tidak silakan dikembalikan dengan mengganti air susu yang sudah diperah dengan satu sho’ tamar”. Pengertian:  "لاتصروا"adalah: jangan membiarkan berhari-hari onta atau kambing tidak diperah air susunya, diikat putting susunya sehingga air susu terkumpul di dalam payudaranya, seolah-olah onta atau kambing tersebut banyak air susunya (manipulasi), maka pembeli berhak mengembalikan sebelum memerah susu hewan yang dibeli apabila dia tahu bahwa air susunya beberapa hari tidak diperah. Hal menunjuukkan bahwa adanya khiyar, dan hak pengembalian karena terdapat cacat.
(16)  Hadits riwayat al Bukhary (2072), dan Muslim (1534), dari Abdullah bin Umar ra., bahwasanya Rasulullah saw. melarang menjual buah-buahan, sampai jelas-jelas sudah masak, melarang kepada penjual dan pembeli” Di dalam satu riwayat menurut Muslim: Rasulullah saw. bersabda: “Janganlah kamu menjual buah-buahan, sampai tampak jelas sudah matang, dan dijamin tidak ada penyakit”, artinya tidak terkena sesuatu yang akan merusaknya.
(17)  Yang di dalamnya terdapat penyebab terjadinya riba, dalam wujud barang berharga atau bahan makanan.
(18)  Oleh karena sudah jelas bahwa itu serupa, adapun untuk yang lain (selain susu), misalnya anggur dan lainnya, maka tidak jelas keterserupaannya.
(19)  Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Wahai orang yang beriman, apabila kamu melakukan transaksi hutang piutang dalam masa tertentu, maka catatlah” (al Baqoroh: 282). Ibnu Abbas menyatakan: Yang dimaksud di sini adalah aqad “salam”. Hadits riwayat al Bukhary (2125), dan Muslim (1604), dari Ibnu Abbas ra. ia berkata: Nabi saw. tiba di Madinah, mereka meminjamkan tamar dua atau tiga tahun, maka beliau bersabda: “Barang siapa yang meminjamkan sesuatu, maka pinjamkanlah dengan cara ditakar atau ditimbang secara jelas, dan sampai batas waktu yang jelas pula”.
(20)  Yang bendanya ada di tempat dan dapat ditunjukkan benda itu, oleh karena pada dasarnya salam itu adalah hutang piutang.
(21)  Dasar dari persyaratan di atas adalah firman Allah Ta’alaa: “Sampai waktu tertentu”, dan sabda Rasulullah saw. di dalam hadits: “Dengan takaran yang jelas, timbangan jelas, dan pada batas waktu yang jelas”, untuk yang tidak disebutkan disini dianalogikan dengan apa yang sudah dijelaskan.
(22)  Penyerahan barang yang ditransaksikan (salam) kepada yang berhak di tempat terjadinya transaksi, berdasarkan sabda Rasulullah saw.: “Barang siapa yang bertransaksi pinjam meminjam, maka laksanakanlah”, inilah maksudnya. Wallahu a’lam.
(23)  Oleh karena akad salam akan terjadi penipuan ketika dilihat dari sisi bendanya yang belum ada, dan di dalam khiyar syarat juga bisa terjadi penipuan, ketika terlintas, bahwa transaksi tersebut bisa jadi biusa pula batal, oleh karena itu janganlah disatukan antara dua hal yang kemungkinan akan terjadi penipuan.(Oleh karena itu tidak ada khiyar syarat).
(24)  Dasar masalah ini adalah firman Allah ta’alaa: “Apabila kamu dalam perjalanan (dan bertransaksi secara tidak tunai), sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang” (al Baqoroh: 283). Jaminan/gadai hukumnya sah baik orang dalam bepergian atau hadir (di rumah), telah diriwayatkan hadits oleh al Bukhary (1962), dan Muslim (1603), dari A’isyah ra., bahwasanya Nabi saw. membeli makanan dari kepada orang Yahudi dengan tidak tunai, beliau menjaminkan baju besi beliau.
(25)  Artinya bagi yang menggadaikan berhak menarik kembali barangnya sebelum barang tersebtu ditangan yang berpiutang. Berdasarkan firman Allah ta’alaa: “Jaminan yang sudah diterima tangan”, dan barang gadaian tidak menjadi tetap sebelum diserah terimakan.
(26)  Berdasarkan sabda Rasulullah saw.: “Barang gadaian tidak tidak boleh menutup hak pemiliknya, pemiliknya tetap berhak atas keuntungan atau kerugian dari barang tersebut”, hadits diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (1123) dan al Hakim (II/51), dinyatakan shohih. Tidak boleh menutup di sini artinya: Orang yang berpituang tidak boleh menghalangi hak pemiliknya, atau mendendanya kecuali bila yang berhutang melampaui batas.
(27)  Firman Allah Ta’alaa: “Dan janganlah kemu serahkankepada orang  yang belum sempurna akalnya harta mereka yang dijadikan oleh Allah sebagai pokok kehidupanmu”, (an Nisak: 5). Dan firman Allah Ta’alaa: “Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah keadaannya, atau dia sendiri tidak mampu untuk mengimlakkan (tidak tahu hitung dan tulis), maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur”. Maksud dalail ini, bahwa Allah Ta’alaa menjelaskan bahwa mereka itu digantikan oleh walinya dalam hal mengelola ahrta, itulah makna dari hajru. Allah berfirman: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai mengelola harta), maka serahkanlah kepada mereka  harta mereka”, (an Niask: 6). Ayat ini menjunjukkan bahwa terhadap anak yang belum cerdas mengurus harta, tidak boleh diserahkan hartanya kepadanya, dia dibatasi hak-haknya oleh walinya.
(28)  Hadits riwayat Malik dari Umar ra. ia berkata: Ketahuilah, bahwa sesungguhnya al Asaifii’rela sebab hutang atau amanatnya disebut haji terlambat, dia berhutang enggan untuk melunasinya, akibatnya lama-lama banyak hutang dan tidak mampu membayarnya. Maka barang siapa yang merasa mempunyai hak padanya, hendaklah besok pagi hadir, kami akan menjual hartanya, dan membaginya untuk membayar hutang. Kemudian jauhilah olehmu berhutang, pada awalnya kegelisahan dan pada akhirnya penyesalan.
(29)  Artinay mati sebab sakitnya itu.
(30)  Hadits riwayat al Bukhary (1233) dan Muslim (1628), dari Sa’ad bin Abi Waqosh ra. ia berkata: Rasulullah saw. mengnjungi saya pada tahun haji wadak, sebab saya sakit keras, saya berkata: Sesungguhnya saya sakit berat, dan saya mempunyai harta peninggalan, dan tidak ada ahli waris kecuali hanya seorang anak perempuan saya, apakah boleh saya sedekahkan dua pertiga harta saya? Beliau menjawab: Tidak. Saya bertanya: Kalau separohnya? Beliau menjawab: Tidak. Lalu beliau bersabda: Sepertiga saja, sepertiga sudah besar dan banyak, sesungguhnya lebih baik engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, dari pada meninggalkannya dalam kemiskinan dan menjadi peminta-minta.
(31)  Dari tergugat terhadap gugatan yang  disampaikan untuk tujuan kebaikan.
(32)  Artinya sesuatu yang dapat ditafsirkan urusannya kepada harta, sebagaimana orang yang memegang hak sebuah cerita terhadap yang lain, maka perdamainnya antara lain berdasarkan perhitungan harta, menurut dasar-dasar syara’. Firman Allah ta’alaa: “Perdamaian/ishlah itu baik” (an Niasak: 128), dan sabda Nabi saw.: “Shulhu (perdamaian) itu diperbolehkan antara dua orang Islam, kecuali perdamaian dalam hal mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan orang Islam itu boleh membuat persyaratan-persyaratan, kecuali syarat mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”, hadits riwayat at Tirmidzy (1352), ia menyatakan: hadits ini hasan shohih.
(33)  Berdasarkan telah tetapnya hak khiyar majelis dan khiyar syarat, pengembalian barang karena cacat, dan sebagainya.
(34)  Berdosa, yakni memperpanjang bagian dari atap rumah di atas tembok keluar sampai ke jalan. Dalil yang menunjukkan demikian adalah: Bahwasanya Rasululah saw. mendirikan saluran air di rumah paman beliau yakni Abbas ra., karena melewati masjid Rasulullah saw. diriwayatkan oleh Ahmad di dalam kitab Musndanya, al Baihaqy dan al Hakim. Dan diqiyaskan dengan saluran air orang lain.
(35)  Apabila membahayakan seseorang atau pengguna jalan, atau  memanjang sampai ke rumah tetanganya, hal itu dilarang, berdasarkan sabda Rasulullah saw.: “Jangan membahayakan dan jangan pula dibahayai”, diriwayatkan oleh Ibnu Majah (2340 –2341), dan lainnya.
(36)  Dasar hukum disyari’atkannya hiwalah, hadits riwayat al Bukhary (2166), dan Muslim (1564), dari Abi Hurairoh ra., bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Pemguluran waktu pembayaran hutang bagi yang mampu adalah suatu kedholiman, apabila kamu setuju memindahkan hutang kepada orang yang lebih mampu, maka laksanakanlah”. Di dalam riwayat lain: “Apabila kamu memindahkan hak kepada orang yang lebih mampu, maka pindahkanlah”.
(37)  Hadits riwayat alBukhary (2168), dari Salmah bin al Aku’ ra. ia berkata: Kami duduk di dekat Rasulullah saw. ketika itu di hadirkan satu jenazah, mereka berkata: Wahai Rasul, mohon kiranya tuan berkenan menyalatinya. Belia bertanya: “Apakah dia mempunyai tanggungan hutang?”, mereka menjawab: Tidak. Beliau bertanya: “Apakah dia mempunyai harta peninggalan?” Mereka menjawab: Tidak. Maka beliau sholat untuk jenazah tersebut. Lalu beliau didatangkan jenazah lainnya, mereka berkata: Wahai Rasul, kiranya tuan berkenan menyalatinya. Beliau bertanya: “Apakah di menanggung hutang?”. Mereka menjawab: Ya. Beliau bertanya: “Apakah dia meninggalkan harta?” Mereka menjawab: Tiga dinar. Maka beliau sholat jenazah. Kemudian di datangkan lagi jenazah yang lain, mereka berkata: Kiranya Rasul berkenan menyalatinya. Beliau bertanya: “Apakah dia meningalkan harta?” Mereka menjawab: Tidak. Beliau bertanya: “Apakah dia menanggung hutang?” Mereka menjawab: Tiga dinar. Beliau bersabda: “Sholatlah kamu untuk saudaramu”. Abu Qotadah berkata: Sholatkanlah dia wahai Rasul, dan hutangnya menjadi tanggungan saya, maka beliau melakukan sholat untuk jenazah tersebut. Menurut riwayat an Nasaie (IV/65) Nabi saw. bersabda: “Sudah cukup”, beliau bersabda: “Sudah cukup, lalu beliau sholat untuk janazah tersebut. Artinya: Janji ini atasmu untuk mencukupinya. Menurut riwayat Ibnu Majah (2407) Abu Wqotadah berkata: “Saya menanggung hutangnya”. Dan hal ini merujuk kepada firman Allah Ta’alaa: “Bagi siapa yang dapat mengembalikannya, maka akan memperoleh bahan makanan seberat beban onta, dan aku menjamin terhadapnya” (Yusuf: 72). Seberat beban onta, sudah dikenal oleh manusia pada zaman Nabi Yusuf.
(38)  Adapun terhadap penjamin: berdasarkan sabda Nabi saw.: “Hutang harus dibayar, pada hakikatnya penjamin adalah yang berhutang”, diriwayatkan oleh at Tirmidzy (1265) dinyatakan hasan. Adapun terhadap yang dijamin, berdasarkan sabda Nabi saw. kepada Abi Qotadah ra., setelah dia membayar hutang yang menjadi tanggungannya dari mayit: “Sekarang sudah menjadi dingin kulitnya dengan terbayar hutangnya”, diriwayatkan oleh Ahmad (III/330).
(39)  Ada dan tetap di dalam tanggungannya, misalnya orang menyatakan: Saya menjamin bagimu apa-apa yang akan engkau pinjamkan kepada si Fulan.
(40)  Yakni, menjamin terhapa pembeli jumlah harga yang telah dibayar, apabila barang yang diserahkan hak milik orang lain, atau terdapat cacat, dan sebagainya. Dan ini sebagai jaminan terhadap sesuatu yang belum ada dan belum tetap, dan diperbolehkan sebab sangat dibutuhkan olehnya.
(41)   Kebolehannya merujuk kepada firman Allah Ta’alaa: “Maka ambillah salah seorang di antara kami sebagai penggantinya, sesungguhnya kami melihat kamu termasuk orang-orang yang baik” (Yusuf: 78).
(42)  Dalil yang menunjukkan disyari’atkannya syarikah, adalah hadits riwayat Abu Dawud (3383), dari Abi Hurairoh ra. ia berkata:  Sesungguhnya Allah berfirman: Saya adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat, selama tidak berkhiyanat salah satunya kepada teman berserikatnya, apabila mengkhiyanatinya, maka Aku keluar dari antara mereka berdua”. Pengertian pihak ketiga dari dua orang berserikat: Allah akan selalu menjagaa, menolong, dan menurutnkan barokah di dalam harta yang dieprolehnya. Aku keluar dari antara mereka: Aku mencabut abrokah dari harta keduanya.
(43)  Uang yang dapat diusahakan, seperti barang berharga.
(44)  artinya harta berdua sebagai moidal pokok perserikatan.
(45)  Dalil yang menunjukkan demikian adalah banyak hadits Nabi saw. antara lain: tentang pembayaran hutang: hadits riwayat al Bukhary (2182) dan Muslim (1601), dari Abi Hurairoh ra. ia berkata: Ada seorang lelaki yang mempunyai onta umur tertentu pada Nabi saw., dia datang kepada beliau untuk meminta kembali ontanya, maka beliau bersabda: “Berilah dia”, mereka mencari yang umurnya seperti yang dimaksud tidak mendapatkannya, kecuali umur satu tahun lebih. Maka beliau bersabda: “berikanlah kepadanya”dan beliau bersabda: “Semoga Allah mencukupiku dan mencukupimu”. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya oang yang terpilih di antara kamu adalah yang paling baik di antara kamu keputusannya”. Yang berkaitan dengan pembelian: hadits riwayat at Tirmidzy (1258) dengan sanad shohih, dari Urwah al Bariqie ra. ia berkata: Rasulullah saw. menyerahkan kepada saya  uang satu dinar, agar saya membelikan seekor kambing untuk beliau. Saya membeli untuk beliau dua ekor kambing, lalu seekor di antaranya saya jual dengan harga satu dinar, kemudian saya datang menghadap kepada Rasulullah saw. membawa seekor kambing dan uang satu dinar, dan saya jelaskan kepada beliau tenatng perbuatanan saya. Maka beliau bersabda: “Semoga Allah memberkati engkau dalam hal transaksi tangan kananmu”. Dalam urusan suami isteri: hadits riwayat al Bukhary (2186), dan Muslim (1425), dari Sahal bin Sa’ad ra. ia berkata: Datang seorang wanita kepada Rasulullah saw. dan berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya benar-benar menyerahkan jiwaku kepadamu. Maka ada seorang lelaki berkata: Wahai Nabi, nikahkanlah saya dengan dia. Beliau bersabda: “Sungguh-sungguh aku nikahkan engkau dengan dia, dengan apa yang ada pada engkau dari al Qur’an”. Pengertian:  "بما معك"Ajarilah dia apa-apa yang telah engkau hafal dari al Qur’an sebagai mahar (maskawin) baginya.
(46)  Tidak wajib secara kontinyu di dalam akad tersebut, baik wakil atau yang mewakilkan.
(47)  Dasar disyari’atkannya ikrar, adalah firman Allah Ta’alaa: “Jadilah kamu orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, beiarpun terhadap dirimu sendiri” (an Nisak:135). Kesaksian terhadap diri sendiri adalah ikrar. Dan sabda Rasulullah saw.: “Wahai Unais berangkatlah pagi-pagi besuk mengurus wanita ini, apabila dia membuat pengakuan, maka rajamlah dia”. Maka pada pagi harinya wanita itu membuat pengakuan, maka Rasulullah saw. memerintahkannya, maka wanita itu dirajam, diriwayatkan oleh al Bukhary (2575) dan Muslim (1697).
(48)  Dalil yang menunjukkan demikian adalah qisah tentang perajaman terhadapMa’iz ra., bahwasanya dia kerika merasakan lempara batu, maka dia melarikan diri, maka mereka menangkapnya dan merajamnya. Kemudian mereka memberitahukan kepada Rasulullah saw., maka beliau bersabda: “Mengapa kamu tidak meninggalkannya?”, al Bukhary (4970), dan Muslim (1691) dan at Tirmidzy (1428).
(49)  Tidak diperhitungkan suatu ikrar atas dasar paksaan dari pihak lain kepadanya, hadits riwayat Ibnu Majah (2044), dari Abi Hurairoh ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah membebaskan bagi ummatku dari dosa dari apa yang terlintas di dalam dadanya (hatinya), selama tidak diucapkan atau dilakukan, dan perbuatan dari paksaan pihak lain kepadanya”. Artinya Allah menggugurkan taklif (beban hukum) dari perbuatan ayng dipaksa pihak lain, dan tidak sah ikrar karena suatu paksaan, bahkan Allah menganggap suatu yang tidak berarti apabila seorang berikrar bahwa dia kafir, kalau ikrar itu karena pekasaan pihak lain, yang disertai dengan tuma’ninah beriman kepada Allah di dalam hatinat. Allah berfirman: “Kecuali orang yang dipaksa, sedang hatinya tetap tuma’ninah dengan keimanan” (an Nahl: 106).
(50)  Artinya sakit ayng membawa maut.
(51)  Dasarnya adalah firman Allah ta’alaa: “Mereka enggan menolong dengan barang yang bermanfaat” (al Ma’un:7). Maksudnya adalah barang yang bisa dipinjam antar tetangga, sebagaimana ditafsirkan oleh Jumhur Ulama’. Hadits riwayat al Bukhary (2484) dan Muslim (2307), bahwasanya Nabi saw. meminjam seekor kuda dari Abi Tholhah ra. kemudian beliau menaikinya.
(52)  Yang paling benar bahwa  bisa juga dipinjamkan sesuatu  yang manfaatnya adalah bendanya itu sendiri, misalnya meminjam sebatang pohon untuk dimakan buahnya, tetapi tidak sah peminjaman tersebut apabila akan merusakkan barangnya selama pamakaian, misalnya meminjam lilin untuk penerangan malam, dan sebagainya.
(53)  Hadits riwayat Abu Dawud (3562), bahwasanya Nabi saw. meminjam beberapa baju perang (baju besi) kepada Shofwan  bin Umayyah pada hari peperangan Hunain, maka dia bertanya kepada beliau: Apakah ini suatu ghoshob (pemakaian tanpa izin) wahai Muhammad? Beliau menjawab: “Tidak, tetapi suatu peminjaman yang disertai jaminan”.
(54)  Berdasarkan hadits Abu Dawud (3562), dan at Tirmidzy (1266), dari Samuroh ra., dari nabi saw. beliau bersabda: “Tanggung jawab tangan, apa saja yang diambil sampai dikembalikan”. Ghoshob adalah perbuatan dosa besar, dasar keharamannya bayak ayat-ayat al Qur’an, antara lain firman Allah Ta’alaa: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebgian yang lain di antara kamu dengan cara batil (al Baqoroh: 188). Dan banyak hadits, antara lain: Sabda Rasulullah saw. di dalam khotbah beliau di Mina: “Sesungguhnya darah kamu, harta kamu dan kehormatan kamu hukumnya haram untuk kamu langgar, seperti keharaman pada hari ini, di negerimu ini”, diriwayatkan oleh al Bukhary (perhatikan: 67?) dan Muslim (1218), dan lainnya.
(55)  Dasarnya adalah hadits riwayat al Bukhary (2138), dan Muslim (1608), dari Jabir ra. ia berkata: Rasulullah saw. memutuskan dengan hak syuf’ah terhadap harta yang tidak/belum dibagi. Menurut Muslim: Tentang tanah, rumah, atau kebun. Apabila ada pembatas, atau dipisahkan dengan jalan, maka tidak ada hak syuf’ah.
(56)  Hadits riwayat Ibnu Majah (2500), dari Ibnu Umar ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Syuf’ah itu seperti lepasnya ikatan”. Artinya: hak syuf’ah akan hilang apabila tidak segera diusahakan untuk mendapatkannya, sebagaimana hilangnya seekor onta yang binal ketika lepas ikatannya, karena tidak segera diusahakan.
(57)   Sebidang tanah atau saham berupa sawah atau ladang.
(58)  Dinamakan juga dengan “mudlorobah”, dasarnya adalah kesepakatan ulama’ serta  amalan para sahabat ra.  Dalam kitab Taklimatul Majmuk: XIV/191. Ibnul Mundzir menyatakan: Ahli Ilmu sepakat atas diperbolehkannya mudlorobah dalam segala hal. As Shon’anie menyatakan: Tidak ada perbedaan pendapat antara ummat Islam terhadap diperbolehkannya qirodl, bahwa qirodl itu berasal sejak zaman Jahiliyah kemudian ditetapkan di dalam Islam. Perbuatan itu dinukil dari banyak sahabat, antara lain Umar dan anaknya yakni Abdullah bin Umar, Utsman bin Affan ra. Perhatikan dalam kitab al Muwathok Kiatb al Qirodl:(II/687).
(59)  Dengan ketentuan yang jelas, misalnya separoh atau sepertiga dan sebagainya.
(60)  Artinya mereka melampaui batas, atau semangat kerjanya menurun, tidak sesuai dengan ketentuan ayng berlaku.
(61)  Dasar hukum kerjasama ini adalah hadits riwayat al Bukhary (2203) dan Muslim (1551), dari Ibnu Umar ra. bahwasanya Rasulullah saw.memberikan kepada orang khoibar separoh dari ahsil kerjasama ini berupa buah-buahan atau hasil pertanian. Di dalam riwayat Muslim: Belia menyerahkan kepada orang Yahudi Khoibar berupa sebidang kebun kurma, untuk diusahakan dengan biaya mereka sendiri, dan bagi Rasulullah separoh dari penghasilannya. Kerjasama ini berdasarkan nash berlaku untuk kebun kurma, tetapi untuk tanaman aggur dapat diqiyaskan dengan kebun kurma, dapat pula untuk pertanian, apabila dianggap itu sebagai pepohonan, sebagaimana dijelaskan dalam ahdits.
(62)  Dalil tenatng disyari’atkannya adalah: ayat-ayat al Qur’an, antara lain: firman Allah Ta’alaa: “Jika mereka menyusukan anak-anakmu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya” (at Tholaq:6). Dan banyak hadits, antara lain hadits riwayat al bukhary (2150), dari Abi Hurairoh ra. dari Nabi saw. beliau bersabda:  Allah Ta’alaa berfirman: “Ada tiga golongan, di mana Aku memusuhi mereka nanti pada hari qiyamat: laik-laki yang berjanji kepada-Ku lalu dia mengingkarinya, laki-laki yang menjual budaknya ayng sudah merdeka, kemudian dimakan hasil penjualannya, dan laki-laki yang mempekerjakan orang, kemudian pekerja tersebut meminta upah kerjanya, dia tidak memberikan upah tersebut”. Hadits riwayat al Bukhary (2159), dan Muslim (1202), dari Ibnu Abbas ra. ia berkata: Nabi saw. berbekam, dan beliau memberikan upah kepada tukang bekam, kalau beliau tahu bahwa hal itu diharamkan niscaya beliau tidak memberinya.
(63)  Dalil disyari’atkannya ahl itu adalah hadits riwayat al Bukhary (2156), dan Muslim (2201), dari Abi Sa’id al Khudry ra., bahwasanya serombongan sahabat  Nabi saw. bertamu kepada suatu kaum, tetapi mereka enggan menerima mereka sebagai tamu mereka, kebetulan pemimpin mereka digigit seekor ular berbisa, maka salah seorang di antara sahabat berusaha menyembuhkannya dengan surat al Fatihah dengan imbalan sepotong daging kambing, Maka ternyata dia sembuh dan mereka mengambil upah mereka. Kemudian mereka memberitahukan kepada Rasululah saw., maka beliau bersabda: “Kamu betul sekali, bagilah upahnya, dan pukulah mereka untukku dengan panah yang ada padamu”, ini ringkasan sebuah ahdits.
 (64) Ini yang dinamakan dengan muzaro’ah, pada dasarnya tidak diperbolehkan, berdasarkan hadits riwayat al Bukhary (2214) dan Muslim (1548), dengan lafadh Muslim, dari Rofi’ bin Khodij ra. ia berkata: Kami membajak (menggarap) sebidang tanah di zaman Rasulullah saw. kami mendapatkan sepertiga atau seperempat hasil pertanian tersebut, atau bahan makanan tertentu, kemudian pada suatu hari datang kepadaku seorang laki-laki  dari Amumatie ia berkata: Rasulullah saw. melarang kami dari hal-hal yang bermanfaat bagi kami. Kelembutan/kebaikan Allah dan Rasul-Nya lebih bermanfaat bagi kita, beliau melarang kita untuk menggarap tanah, lalu diberi upah sepertiga atau seperempat, atau bahan makanan tertentu, dan beliau memerintahkan agar pemilik tanah mengusahakan pertanian tersebut sendiri atau mengupah orang lain, dengan upah yang lain dari itu. Artinya dapat diupah dengan hasil pertanian dimaksud.
(65)  Hadits riwayat Muslim (1549), dari Tsabit ibnud Dluhak ra., bahwasanya Rasulullah saw. melarang muzaro’ah, dan memerintahkan memberlakukan sistim upah, dan beliau bersabda: “Tidak ada masalah dengannya”.
(66)  Hadits riwayat al Bukhary (2210), dari A’isyah ra., dari Nabi saw. beliau bersabda: “Barang siapa yang membangun bumi (membuka lahan) yang tidak dimiliki oleh seorangpun, maka dia yang paling berhak”. Artinya dia lebih berhak dibanding dengan orang lain. Dia mebangun dengan membuka pertanian atau mendirikan bangunan. Menurut riwayat al Bukhary secara muallaq (1346): “Tidak dalam kepemilikan orang Islam”.
(67)  Hadits riwayat al Bukhary (2230), dan Muslim (107), dari Abi Hurairoh ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Tiga golongan tidak akan diperhatikan oleh Allah nanti pada hari qiyamat dan tidak disucikan dari dosa, bagi mereka siksa yang amat pedih: lelaki yang mempunyai kelebihan air di jalanan, tetapi dia tidak mau memberikan kepada ibnus sabiil (musafir)….” Hadits riwayat Muslim (1565), dari Jabir ra. ia berkata: Rasulullah saw. melarangmenjual kelebihan air,
(68)  Tersisa, yang belum diwadahi di dalam bejana atau lainnya.
(69)  Artinya benda yang diwaqofkan atau jenisnya berada ketika ikrar waqof dilaksanakan, dan jenisnya bukan dari sesuatu yang terputus, kecuali apabila diketahui dari sisi lain tidak terputus, seperti halnya mewaqofkan kepada anaknya, lalu diteruskan oleh orang-orang fakir sesudahnya.
(70)   Artinya diharamkan oleh syara’.
(71)  Dasar dari waqof, adalah hadits riwayat al Bukhary (2586), dan Muslim (1632), dari Ibnu Umar ra. bahwasanya Umar Ibnul Khaothob ra. mengambil sebidang tanah di daerah Khoibar, maka dia datang kepada Nabi saw. untuk bermusyawarh dengan beliau tenatng tanah tersebut. Umar berkata: Wahai Rasulullah, saya mengambil (memiliki) tanah di daerah Khoibar, saya tidak mengambil harta sama sekali ayng lebih menarik hati saya selain atnah tersebut, maka apakah perintah tuan terhadapnya? Beliau menjawab: “Apabila engkau mau waqofkanlah tanah itu dan bersedekahlah dengannya”. Ibnu Umar berkata: Maka umar menyedekahkan tanah tersebut, bahwa dia tidak menjualnya, atau menghibahkannya atau mewariskannya, dia menyedekahkan kepada fakir miskin terdekat, para budak, fii sabilillah, ibnus sabill, dan para tamu, dan tidak ada dosa bagi pengelola untuk memakannya dengan cara yang baik dan memberi makan keluarganya, selain orang ayng berharta. Sungguh Islam menganjurkan umatnya untuk berwaqof, dalil yang menunjukkan demikian adalah hadits riwayat Muslim (1631), dari Abi Hurairoh ra., bahwasanya Rasulullah saw.bersabda: “Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, serta anak yang sholeh yang selalu mendoakan kepadanya”. Ulama membawa sedekah jariyah ini ke arah waqof.
(72)  Dasar disyari’atkannya hibah adalah firman Allah Ta’alaa: “Berilah maskawin kepada wanita ayng kamu nikahi sebagai pemberian yang difardlukan, kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah pemberian itu sebagai makanan yang  halal dan baik akibatnya” (an Nisak: 4). Hadits riwayat al Bukhary (2437), dan Muslim (1077), dengan lafadh Muslim, dari Abi Hurairoh ra., bahwasanya Nabi saw.: Apabila disajikan kepada beliau makanan, maka beliau bertanya tenatng makanan itu: apabila dinyatakan sebagai hadiah, maka beliau berkenan memakannya, tetapi bila dikatakan itu sebagai sedekah, maka beliau tidak memakannya.
(73)  Artinya pisik benda dimaksud tidak keluar dari kepemilikan yang memberi hibah dan masuk menjadi milik yang diberi hibah sebelum diserahterimakan kepada penerima hibah, yang memberi hibah berhak menarik hibahnya sebelum dipegang tangan penerima hibah. Dasarnya hadits riwayat al Hakim dan dinyatakan shohih: Bahwasanya Nabi saw. menghibahkan kepada Najasyie minyak wangi, tetapi an Najasyie meninggal dunia sebelum hibah itu sampai ke tangannya, maka beliau membagikannya kepada para isteri beliau. (an Nihayah).
(74)  Hadits riwayat al Bukahry (2449), dan Muslim (1622), dari Ibnu Abbas ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Orang yang menarik kembali hibahnya, seperti anjing yang sudah muntah, lalu menjilat kembali muntahannya”. Dan ahdits riwayat Abu Dawud (3539), dan at Tirmidzy (2133), dinyatakan hadits hasan shohih, dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas ra., dari Nabi saw. beliau bersabda: “Tidak halal bagi seorang lelaki yang memberikan sesuatu pemberian atau menghibahkan sesuatu hibah lalu menariknya kembali, keculai orang tua yang memberi hibah kepada anaknya”.
(75)  "العُمْرَى" adalah apabila seorang menyatakan: Saya memberikan tempat tinggal kepadamu di area kebun ini” atau “saya serahkan menjadi hakmu selama engkau masih hidup, apabila engkau mati, maka kembali lagi kepadaku”. Sedangkan  "الرُّقْبَى" adalah apabila seorang menyatakan: Saya serahkan sesuatu ini kepadamu, apabila engkau meninggal lebih dulu, maka kembali kepada saya lagi, apabila aku meninggal lebih dulu, maka tetap menjadi hak milikmu.Hadits riwayat Muslim (1625), dari Jabir ra., bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Siapa saja yang memberikan umraakepada seseorang dan pelanjutnya, dengan pernyataan: Saya serahkan kepadamu dan generasi sesudahmu, maka orang yang diberi dan pelanjutnya tidak berkewajiban mengembalikan kepada pemilik asalnya, oleh karena dia memberi sesuatu yang menjadi harta yang bisa diwaris”. Atau sudah termasuk harta yang dapat diwaris, dan tetap menjadi hak ahli waris. Dan diriwayatkan oleh Abu dawud (3558) dan at Tirmidzy (1351), dinyatakan hadits hasan, dari Jabir ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Umraa itu diperbolehkan ditujukan kepada keluarganya sendiri, begitu pula ar roqbaa untuk kaluarganya sendiri”.
(76)  Dasar disyari’atkannya luqothoh serta hukumnya, adalah banyak ahdits Nabi saw. antara lain: hadits riwayat al Bukahry (2296), dan Muslim ( 1722), dari Zaid bin Kholid al Jahnie ra., bahwasanya Nabi saw.ditanya tenatng luqothoh, baik berupa emas atau perak. Beliau menajwab: “Ketahui ikatan talinya, wadahnya, lalu umumkan selama satu tahun, apabila tidak kamu temukan pemiliknya, maka milikilah barang itu, dan itu sebagai titipan padamu, apabila pada suatu ketika pemiliknya datang dan memintanya, maka serahkanlah kepadanya”. Dalam hadits riwayat al bukahry (2294) dan Muslim ( 1723), dari Ubai bin Ka’ab ra., maka beliau bersabda: “Ketahuilah jumlahnya, talinya, wadahnya, apabila datang pemiliknya, apabila tidak, maka bergembiralah dengan benda itu”.
(77)  Terdapat dalam hadits Zaid bin Kholid ra., dan dia bertanya tenatng onta yang hilang? Maka beliau menajwab: “Bukan milikmu, dan milik dia, biarkanlah dia, sesungguhnya besertanya ada sepatunya, ada persediaan air munumnya, dia bisa minum air dan memakan pepohonan, sampai ditemukan oleh pemiliknya”. Dia juga bertanya tentang kambing? Beliau menjawab: “Ambillah ia, sesungguhnya itu milikmu, atau akan diambil saudaramu, atau akan dimakan serigala”.
(78)  Menjaga agar anak tersebut tidak mengalami bahaya (kerusakan), dan memberi keselamatan jiwa sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’alaa: “Barang siapa yang memelihara kehidupan seseorang, maka seolah-oleh dia telah memelihara kehidupan semua manusia” (al Maidah: 32).
(79)  Oleh karena Umar ra. bermusyawarah dengan para sahabat tentang nafkah hidup anak temuan, mereka sepakat bahwa diambilkan dari baitul maal. (Kitab al Mughnie: II/421).
(80)  Dasar disyari’atkannya adalah ayat-ayat al Qur’an, antara lain: firman Allah Ta’alaa: “Apabila sebagian kamu mempercayai kepada sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya” (al Baqoroh: 283). Dan banyak hadits, antara lain hadits riwayat Abu Dawud (3535), dan at Tirmidzy (1264), dari Abi Hurairoh ra. ia berkata:  Rasulullah saw. bersabda: “Tunaikanlah amanat kepada orang yang memberi amanat kepadamu, dan janganlah kamu mengkhianati orang yang telah mengkhianatimu”.

Tidak ada komentar:
Write komentar