Hadits-Hadits Maqbûl (Dapat Diterima)
1.Hadits Shahih Li Dzâtih (Shahih Yang Memenuhi Kriteria) Hadits Shahih adalah hadits yang muttasil sanadnya (jalur periwayatan), melalui perawi yang terpercaya (al-Adl) danmempunyai tingkat akurasi hapalan/ tulisan yang tinggi (al-dhabth), tidak bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan mayoritas ahli hadits (Syadz) serta selamat dari cacat (al-'Illat).Orang yang pertama kali meprakrarsai pengumpulan hadits-hadits Shahih adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari yang kemudian di lanjutkan oleh muridnya Muslim bin al-Hajjaj al-Naisabury. Meskipun dalam kurun sebelumnya sudah dilakukan hal serupa oleh Imam Malik, hanya saja disinyalir masih ditemukan hadits lain yang kurang begitu jelas jalur periwayatannya. Dan hadits dari al-Bukhari lebih di unggulkan di banding hadits dari Muslim terutama karena beliau menetapkan persyaratan dalam hadits muan'an bahwa masing-masing perawi harus ditetapkan bertemu atau mendengar langsung darinya.
2.Hadits Hasan Li Dzâtih (Hasan Karena Memenuhi Kriteria)Hadits yang muttasil sanadnya (jalur periwayatan), melalui jalur orang yang terpercaya (al-Adl), selamat dari sifat syadz dan al-'Illat, seperti dalam hadits Shahih. Hanya saja perawinya mempunyai tingkat akurasi hapalan/ tulisan sebawah perawi hadits Shahih.
3.Hadits Shahih Li Ghairihi (Shahih Karena Hadits Lain)Adalah hadits hasan yang memenuhi kriteria hasan (li dzatihi) dan kemudian dijumpai periwayatan dari jalur lain yang sama atau lebih kuat statusnya (Shahih).
4.Hadits Hasan Li GhairihiAdalah hadits yang tergolong dza'if yang tidak terlalu, dimana perawinya dzaif namun tidak sampai menurunkannya dari derajat perawi terpercaya lainnya. Atau tergolong mudallis yang tidak secara jelas dipaparkan ulama lain, serta mungkin sanadnya tergolong munqathi'. Dalam hal ini supaya masuk dalam pengertian hasan li ghairihi, disyaratkan dua hal. Pertama, tidak terkena sifat syadz dalam haditsnya. Dan kedua, dijumpai riwayat dari jalur lain yang sama atau lebih kuat secara lafadz ataupun makna, meskipun hanya cocok dalam sebagian isi matannya. Dicontohkan seperti hadits-hadits yang tercantum dalam Sunan Al-Turmudzi, dengan bahasa "hadits ini adalah hasan".
Hadits Dha'if
Yaitu hadits yang tidak memenuhi kriteria hadits Shahih dan hasan. Yang termasuk jenis hadits ini, yakni yang dipastikan dha'if ada sekitar empat belas jenis hadits: al-Munqathi', al-Mu'dlal, al-Mu'allaq, as-Syâdz, al-Mushahaf, al-Maqlûb, al-Mudhtharrib, al-Mu'allal, al-Mudallas fî al-Isnâd bi la Tashrîh fi as-Samâ', al-Munkar bi ma'na Mukhâlafah at-Tsiqah, al-Mursal al-Khafy, al-Matrûk, al-Mathrûh, dan al-Maudhû'. Terdapat perbedaan pandang dari beberapa ulama mengenai kuhujjahan hadits dha'if :
1.Menurut sebagian ulama seperti Imam Ahmad dan Abu Dawud, hadits dla'if boleh diamalkan secara mutlak, baik dalam masalah halal haram, ataupun dalam hukum wajib dan fardlu. Namun jika tidak ditemukan hadits lain. Hal ini sebatas pada hadits dha'if yang tidak terlalu (ghaira syadîd ad-dhu'fi).
2.Menurut mayoritas ulama hadits, ulama fiqh dan selainnya, hadits dha'if sunah diamalkan dalam urusan keutamaan amaliyah baik berupa hukum makruh ataupun sunah.
3.Menurut Al-Qadzi Abi Bakar Ibn Al-'Araby, tidak diperbolehkan mengamalkan hadits dha'if secara mutlak.
Syarat Mengamalkan Hadits Dha'if
1.Status ke-dha'if-annya tidak terlalu (ghaira syadîd al-dhu'fi).2.Harus didasari oleh dalil umum yang mendukung.3.Tidak meyakini tetap (tsubût) nya hadits dha'if sewaktu mengamalkan. Agar terhindar dari menisbatkan pada Nabi suatu hal yang belum pernah diucapkan beliau.
Hadits Maudhû' (Palsu)
Hadits yang disandarkan pada Nabi dengan kebohongan dan sebenarnya tidak ada keterkaitan sanad dengan Nabi dan pada hakikatnya ini bukan hadits. Hanya saja penyebutannya sebagai hadits memandang anggapan dari perawinya.Kriteria Hadits Maudhu' Dalam kitab Taysîr Mushthalah al-Hadîts dan Al-Bâ'its al-Khabîts dipaparkan beberapa kriteria sebuah hadits disebut maudlû', yakni:
1.Ada pengakuan dari orang yang me-maudlu'-kan hadits tersebut, sebagaimana yang diriwayatkan Al-Bukhari dalam Târîkh al-Awsâth dari Umar bin Shibah bin Imran al-Tamîmî bahwa beliau berkata: "Aku telah memaudhu'kan khutbah Nabi". Dan juga Maisarah bin Abdi Râbbih al-Fârisi bahwa beliau pernah me-maudlû'-kan hadits mengenai beberapa keutaman Al-Qur'an. Abu Ismah Nuh bin Abi Maryam yang dijuluki Nûh al-Jâmi' juga mengakui pernah me-maudlû'-kan hadits.
2.Ada indikasi dari perawi, semisal perawi dari kalangan Râfidhah atau kaum radikal dengan kepentingan-kepentingan tertentu.
3.Pembuktian penanggalan atau masa yang jelas salah.
4.Ada indikasi dari hadits yang diriwayatkan. Semisal hadits ini lafadznya lemah, maknanya tidak teratur atau tidak sesuai dengan apa yang terkandung dalam Al-Qur'an dan al-hadits
5.Menurut as-Subki, setiap hadits yang mengindikasikan kebathilan dan tidak mungkin dita'wîl (arahkan pada makna yang benar), maka hadits itu adalah kebohongan.
6.Menurut Ibn al-Jawzi, sangat tepat orang yang mengatakan, apabila kamu melihat hadits bertentangan dengan akal (yang salim), bertentangan dengan dalil manqûl serta melawan kaidah ushul, maka tahulah anda bahwa itu adalah hadits maudhu'.
Tidak ada komentar:
Write komentar