MENGUBAH STATUS WAQAF MUSHALLA MENJADI MASJID

 

PERTANYAAN :
bagaimana hukumnya mengubah status waqaf musholla di ubah menjadi masjid ? mengingat sekarang ini sudah banyak terjadi
JAWABAN :
Sesuai Hasil Keputusan Muktamar NU ke-10 di Surakarta Bulan April 1935, Bahwa Mushalla yang telah diwakafkan tidak dapat menjadi masjid kalau tidak diniatkan. Referensi :
( ولا يصح ) الوقف ( إلا بلفظ ) من ناطق يشعر بالمراد..
تنبيه يستثنى من اشتراط اللفظ ما إذا بنى مسجدا في موات ونوى جعله مسجدا فإنه يصير مسجدا ولم يحتج إلى لفظ كما قاله في الكفاية تبعا للماوردي لأن الفعل مع النية مغنيان هنا عن القول ووجهه السبكي بأن الموات لم يدخل في ملك من أحياه مسجدا وإنما احتيج للفظ لإخراج ما كان ملكه عنه وصار للبناء حكم المسجد تبعا
قال الإسنوي وقياس ذلك إجراؤه في غير المسجد أيضا من المدارس والربط وغيرها وكلام الرافعي في إحياء الموات يدل له
“Wakaf itu tidak sah kecuali disertai ucapan (dari yang mewakafkan) yang memberikan pengertian pewakafan yang dimaksud... Dikecualikan dari syarat pengucapan bila seorang membangun masjid dilahan bebas, dan ia berniat menjadikannya masjid maka bangunan tersebut menjadi masjid dan tidak memerlukan ucapan pewakafan, hal ini sebagaimana ungkapan Ibn Rif’ah dalam kitab al-Kifaayah dengan mengikuti al-Mawardi “sebab aktifitas membangun disertai niat menjadikannya masjid sudah mencukupi pewakafan dari pebgucapan wakaf, as-Subky memperkuatnya bahwa lahan bebas tersebut tidak menjadi milik seseorang yang membukanya sebagai masjid.
Diperlukannya pengucapan pewakafan tersebut untuk mengecualikan lahan dari kepemilikan seseorang dan untuk bangunannya diperlakukan hukum masjid karena mengikuti lahannya”. Al-Asnawy berpendapat “Dan hukum qiyas kasus tersebut adalah pemberlakuannya pada selain masjid yaitu sekolah-sekolah, pesantren-pesantren dan selainnya”. Pendapat ar-Rafi’i dalam bab Ihyaa’ al-Mawaat juga menunjukkan demikian. [ Mughni al-Muhtaaj II/382 ].
( قوله ووقفته للصلاة الخ ) أي وإذا قال الواقف وقفت هذا المكان للصلاة فهو صريح في مطلق الوقفية ( قوله وكناية في خصوص المسجدية فلا بد من نيتها ) فإن نوى المسجدية صار مسجدا وإلا صار وقفا على الصلاة فقط وإن لم يكن مسجدا كالمدرسة
(Ungkapan Syekh zainuddin al-Malibari “Saya mewakafkannya untuk shalat”) yakni si pewakaf berkata “saya mewakafkan tempat ini untuk shalat” maka ucapan tersebut termasuk sharih (jelas) dalam kemutlakan wakaf. (Ungkapan beliau “Dan kinayah dalam kekhususannya sebagai masjid, maka harus ada niat untuk menjadikannya masjid”) Jika ia berniat menjadikannya masjid maka tempat tersebut menjadi masjid, jika tidak maka hanya menjadi wakaf untuk shalat saja dan tidak menjadi masjid seperti sekolahan. [ I’aanah at-Thoolibiin III/160 ].
=>>Permasalahan mengubah bentuk dan fungsi barang waqaf dalam mazhab syafi'i sangatlah ketat, dalam arti mazhab syafi'i sangat hati-hati dalam memberikan keabsahan perubahan bentuk dan fungsi barang wakaf. Beberapa pendapat di antaranya Imam al-Nawawi dalam kitab raudlah Kitab al-waqf bab al-tsani fasal masail mantsurah :
Tidak boleh mengubah fungsi (barang) waqaf. Maka tidak diperbolehkan (waqaf) rumah menjadi (waqaf) kebun ataupun tempat pemandian, dan sebaliknya. Kecuali jika orang yang waqaf memasrahkan apa yang dipandang maslahah bagi kepentingan wakaf. Dalam fatwa imam al-Qaffal menyatakan: boleh menjadikan (waqaf) tempat cukur (salon rambut) sebagai toko roti. Barangkali pengertiannya adalah merubah bentuk bukan fungsi.
لا يجوز تغيير الوقف عن هيئته ، فلا تجعل الدار بستانا ، ولا حماما ، ولا بالعكس ، إلا إذا جعل الواقف إلى الناظر ما يرى فيه مصلحة للوقف ، وفي فتاوى القفال : أنه يجوز أن يجعل حانوت القصارين للخبازين ، فكأنه احتمل تغيير النوع دون الجنس
Imam Muhammad bin Syihabuddin al-Ramly dalam Nihayatul muhtaj Kitab al-waqf fasal fi ahkam al-waqf al-ma'nawiyyah mengatakan :
Pengelola waqaf boleh merubah (menyelaraskan) bentuk, tetapi tidak boleh membagi-bagi meskipun sekat-sekat, dan tidak boleh merubah fungsi seperti menjadikan kebun sebagai rumah atau sebaliknya selama waqif tidak mensyaratkan satu tindakan untuk kemaslahatan, (jika waqif mensyaratkan satu tindakan tertentu) maka boleh merubah fungsi dengan mempertimbangkan maslahah. Imam al-subky berkata: permasalahan yang saya lihat adalah mengubah benda waqaf menjadi yang lain, tetapi dengan tiga syarat : perubahan itu sedikit yang tidak merubah musamma (esensi dari nama suatu benda), dan tidak menghilangkan sekecil apapun dari bendanya, bahkan boleh memindahkan ke arah yang lain, dan (syaratnya) itu kemaslahatan wakaf.
ولأهل الوقف المهايأة لا قسمته ولو إفرازا ولا تغييره كجعل البستان دارا وعكسه ما لم يشرط الواقف العمل بالمصلحة فيجوز تغييره بحسبها ، قال السبكي : والذي أراه تغييره في غيره ولكن بثلاثة شروط : أن يكون يسيرا لا يغير مسماه ، وأن لا يزيل شيئا من عينه بل ينقله من جانب إلى آخر ، وأن يكون مصلحة وقف .
Dari dua redaksi di atas (raudlah dan nihayah) tampak bahwa diawali dengan tidak bolehnya merubah (fungsi) benda wakaf, melainkan dengan syarat kemaslahatan yang diberikan waqif. Hanya saja, kemudian diikuti dengan pendapat bahwa yang dimaksudkan itu bukan fungsinya melainkan bentuknya.
Dititik ini, kesimpulannya mengubah fungsi itu tidak boleh seperti mengubah rumah (fungsi tempat tinggal) menjadi kebun (fungsi tempat bercocok-tanam), akan tetapi jika merubah bentuk tanpa merubah fungsi itu boleh dengan adanya persyaratan dari waqif, seperti merubah bentuk tempat potong rambut menjadi toko roti dimana fungsinya sama-sama sebagai tempat usaha.
Selanjutnya, apakah mushalla dan masjid itu satu fungsi dan satu makna yang sama ?
Definisi mushalla (musala) dalam bahasa Indonesia adalah : tempat salat; langgar; surau; (2) tikar salat; sajadah. Silahkan rujuk KBBI.
Definisi musala sebagai langgar atau surau adalah definisi yang sesuai dengan urf (kebiasaan) masyarakat indonesia, dimana arti langgar (silahkan rujuk KBBI) adalah : masjid kecil tempat mengaji atau bersalat, tetapi tidak digunakan untuk salat Jumat; surau; musala.
Demikian arti musala yang bisa digunakan untuk merujuk sebagai masjid yang bukan jami', surau, ruang khusus tempat shalat di suatu gedung , kantor atau bahkan pasar (mal) ataupun tempat shalat di rumah.
Kata mushalla salah satunya terdapat dalam al-Baqarah 125:
وإذ جعلنا البيت مثابة للناس وأمنا واتخذوا من مقام إبراهيم مصلى
Yang perlu dicermati dalam ayat ini adalah kata 'maqam' dan 'mushalla'. Banyak tafsiran mengenai kata ini dalam ayat tersebut, ada yang mengartikan batu, dan ada yang mengartikan al-haram secara keseluruhan. Sedangkan mushalla ada yang mengartikan sebagai tempat yang secara khusus diperuntukkan untuk shalat.
Sedangkan arti dari masjid sebagaimana dikatakan oleh al-zujaj yang dinukil dalam kamus lisan al-arab (lihat entry kata sa-ja-da) : setiap tempat yang dipergunakan untuk ibadah adalah masjid, bukankan Rasul bersabda , "telah dijadikan bagiku bumi sebagai masjid yang suci".
وقال الزجاج: كل موضع يتعبد فيه فهو مسجَِد، أَلا ترى أَن النبي، صلى الله عليه وسلم، قال: جعلت لي الأَرض مسجداً وطهوراً.
Dengan demikian, baik masjid dan mushalla mempunya arti dan fungsi yang sama secara kebahasaan. Namun, penggunaan kata masjid dalam hukum (fikih) mempunyai kekhususan yang tidak terdapat dalam mushalla sebagai tempat shalat secara umum.
Apakah makna masjid itu meliputi essensinya sebagai tempat melaksanakan jama'ah jum'at, tempat yang diperbolehkan i'tikaf di dalamnya, tempat yang mana orang junub tidak diperbolehkan berdiam di dalamnya ? Atau hanya sekadar konsekuensi dari nama (asma') yang disandang, sedangkan essensi (musammiyat)nya tetaplah sebagai tempat shalat ?
Jika mushalla dan masjid mempunyai essensi yang sama, maka bukan soal merubah mushala menjadi masjid, bukankah "al-ibrah bi al-musammiyat, la bi al-asma" - Ibrah yang dipegang adalah essensi , bukan nama. Konsekuensi dari suatu nama bukan termasuk kedalam essensi dari nama itu. Seperti tidak boleh jualan roti ditempat potong rambut, sebaliknya tidak boleh potong rambut di toko roti, meskipun essensi keduanya adalah sama yaitu tempat usaha.
Kesimpulan saya, mengubah mushala menjadi masjid, dengan syarat waqif mempersyaratkan satu kemashlahatan yang dipercayakan kepada nadhir , dan nadhir melihat satu kemaslahatan yang benar-benar mendesak, maka itu boleh. Sebaliknya, mengubah masjid menjadi mushala tanpa adanya mashlahat yang jelas dan mendesak dengan pertimbangan yang ketat itu tidak boleh. WALLAHU a'lam.

Kembali saya ambilkan jawaban Imam Ghazali :
ونقل الزركشي : عن الغزالي انه سىٔل عن المصلى الذي بني لصلاة العيد خارج البلد فقال : لا يثبت له حكم المسجد فى الاعتكاف ومكث الجنب وغيره من الاحكام، لأن المسجد هو الذي أعد لرواتب الصلاة وعين لها حتى لا ينتفع به فى غيرها، وموضع الصلاة العيد معد للاجتماعات ولنزول القوافل ولركوب الدواب ولعب الصبيان، ولم تجر عادة السلف بمنع شيء من ذالك فيه، ولو اعتقدوه مسجدا لصانوه عن هذه الاسباب ولقصد لاقامة ساىٔر الصلوات، وصلاة العيد تطوع وهو لا يكثر تكرره بل يبنى لقصد الاجتماع، والصلاة تقع فيه بالتبع
Dan Imam Zarkasyi menukilkan dari Imam Ghazali bahwasanya beliau ditanya tentang musholla yang dibangun untuk shalat Ied di luar perkampungan. Maka beliau menjawab tidak ditetapkan padanya hukum masjid dalam hal i'tikaf dan berdiamnya orang junub dan hukum2 lainnya
KARENA MASJID ADALAH TEMPAT YANG DISIAPKAN UNTUK SHALAT SECARA RUTIN DAN DITENTUKAN UNTUK SHALAT HINGGA TIDAK DIPAKAI UNTUK KEPENTINGAN LAINNYA. SEDANG TEMPAT SHALAT IED DIPERUNTUKKAN UNTUK PERTEMUAN2 DAN MENURUNKAN ORANG DARI PERJALANAN DAN TEMPAT NAIK KENDARAAN DAN TEMPAT MAIN ANAK2.
Dan tidak berlaku kebiasaan salaf melarang hal tersebut di musholla ied. JIKALAU MEREKA MENGANGGAPNYA MASJID MAKA AKAN DIJAGA DARI SEBAB2 TERSEBUT DAN ADA NIAT UNTUK MELAKUKAN SEMUA SHALAT DISANA.
Dan shalat ied adalah sunnah yang tidak banyak berulangnya dan pembangunan musholla tersebut hanya untuk bisa mengumpulkan orang2 sedangkan shalat dilakukan disitu sekedar sebagai fungsi ikutan.
Dari jawaban Imam Ghazali bisa ditarik kesimpulan : JIKA MUSHOLLA DIBANGUN UNTUK SHALAT SECARA RUTIN, PERUNTUKAN UTAMANYA UNTUK SHALAT DAN TIDAK DIPAKAI UNTUK HAL LAIN YANG TAK SEJALAN, DIJAGA DARI HAL-HAL YANG TIDAK SESUAI DENGAN FUNGSI MASJID. MAKA....PADA TEMPAT TERSEBUT BERLAKU HUKUM2 MASJID, alias bisa dipakai tahiyyat masjid, dilarang orang junub berdiam, dsb. Artinya tempat tersebut adalah masjid meski sebutannya musholla.9
KESIMPULAN :
Musyawirin berbeda pendapat dalam hal ini.
Pendapat pertama
Secara mutlak TIDAK BOLEH mengubah status waqaf musholla di ubah menjadi masjid.
Pendapat kedua
Ditafshil dahulu definisi musholla dimaksud :
a.Jika musholla tersebut dalam makna tempat yang bisa digunakan shalat tetapi tidak digunakan secara rutin dan dipakai untuk kegiatan selain masjidiyyah, semisal musholla Ied (lapangan)/aula/gedung serbaguna, maka TIDAK BOLEH mengubah status waqafnya menjadi masjid. Alasannya sama dengan pendapat pertama.

b.Jika musholla tersebut dalam makna masjid kecil yang tak dipakai jum'atan sebagaimana difahami sebagian besar masyarakat maka BOLEH mengubah status waqafnya menjadi masjid karena tidak terdapat perubahan selain sekedar sebutan.

Tidak ada komentar:
Write komentar