Terjemah Kitab AT-TADZHIB Bab Hudud

 


KITAB HUDUUD
(HUKUMAN PIDANA)

Pezina itu ada dua kategori: (a) pezina muhshon (sudah pernah menikah) dan (b) pezina ghoiru muhshon:
Pezina muhshonhukumannya adalah dirajam (dilempari batu sampai mati).(1)
Pezina ghoiru muhshon hukumannya: dicambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun,(2) sampai sejauh jarak orang boleh mengqoshor sholat.(3)
Syarat orang dinyatakn sebagai muhshon ada empat: sudah baligh, berakal sehat, merdeka, sudah melakukan persetubuhan dengan isteri yang dinikahi secara shah.(4)
Untuk budak dan amat, hukumannya seperdua dari hukuman orang merdeka.(5)
Hukuman orang yang melakukan liwath (sodomi), atau menyetubuhi hewan, seperti hukuman orang berzina.(6)
Barang siapa yang melakukan wathie (mubasyarah) bukan pada farjinya, maka ia di-ta’zir,(7) dan ta’zir itu tidak sampai seberat had(hukuman).(8)

(Fasal): Apabila orang menuduh orang lain dengan perbuatan zina(9)maka atsnya dikenai had (hukuman) penuduhan, dengan delapan syarat:
Tiga syarat berada pada orang yang menuduh, yakni: sudah baligh, dan berakal sehat,(10) penuduh bukan sebagai orang tua dari tertuduh.(11)
Lima syarat berada pada tertuduh: yakni: tertuduh seorang muslim/muslimah, sudah baligh, berakal sehat, merdeka, dan iffah (perwira/baik).(12)
Orang yang merdeka di had (hukum) dengan 80 kali cambuk,(13) dan untuk budak hukumannya (hadnya) sebanyak 40 kali cambuk.

Hak tuduhan dapat gugur dengan tiga hal: adanya saksi atau bukti,(14)atau dimaafkan oleh pihak tertuduh,(15)atau dengan sumpah li’an sebagai hak isteri.(16)

(Fasal): Barang siapa minum khomer atau minuman yang memabukkan(17)dihukum (had) sebanyak 40 kali cambuk.(18)Dan boleh mencapai 80 kali cambuk sebagai ta’zir.(19)
Peminum khomer wajib di had dengan salah satu alasan: adanya bukti atau karena adanya pengakuannya sendiri (ikrar),(20) dan tidak dihukum (had) sebab dia muntah atau mulutnya berbau khomer.(21)

(Fasal): Pencuri duhukum dengan potong tangan dengan tiga syarat:(22)pencuri sudah baligh, berakal sehat, dan mencuri barang yang sudah cukup nishab yakni: seharga seperempat dinar,(23)diambil dari tempat penyimpanan yang sesuai dengan jenis barangnya,(24) dan dia tidak mempunyai hak kepemilikan terhadap barang yang dicurinya,(25)tidak syubhat dalam harta yang dicuri.(26)

Tangan kanan pencuri dipotong dari pemisah al kuu’ (pergelangan tangan),(27) apabila mencuri untuk kali kedua, maka dipotong kaki kirinya,(28)apabila mencuri untuk kali yang ketiga, maka dipotong tangan kirinya,(29) apabila dia mencuri lagi kali yang keempat, maka dipotong kaki kanannya,(30)apabila mencuri lagi sesudah itu, maka dita’zir,(31)ada ulama yang berpendapat, bahwa dia dibunuh.(32)

(Fasal): Qutho’ut thoriq: (penyamun/begal)(33)dalam empat kategori kejahatan: apabila membunuh dan tidak mengambil harta, maka hukumannya dibunuh, apabila membunuh dan mengambil harta, maka hukumannya dibunuh dan disalib,(34)apabila mengambil hartanya tetapi tidak membunuh, maka dipotong tangan dan kaki mereka bersilang,(35)apabila hanya sekedar menakut-nakuti orang yang lewat(36) dan tidak mengambil harta dan tidak pula membunuh, maka hukumannya dipenjarakan atau dita’zir.(37) Barang siapa yang bertaubat sebelum mereka tertangkap, maka gugurlah dari padanya hukumannya (had),(38) dan mereka dituntut sebagai pelaku pidana biasa.(39)

(Fasal): Barang siapa yang hendak dicelakai oleh orang, baik jiwanya,  hartanya atau kehormatannya, lalu terjadi perkelaian antara kedua belah pihak dan dia membunuh penjahat dimaksud, maka dia tidak dituntut pertanggung jawaban atas pembunuhan itu.(40)
Terhadap penunggang hewan diwajibkan untuk menganti apabila terjadi kehilangan/kerusakan pada hewan tersebut.(41)

(Fasal): Ahli bugho (pemberontak) harus diperangi(42)dengan tiga syarat: mereka itu terhimpun dalam suatu kekuatan untuk membuat pemberontakan,(43) mereka bermaksud untuk keluar dari genggaman kekuasaan imam (kepala negara),(44) mereka memiliki penafsiran hukum  yang rancu.(45) Tidak dibunuh mereka yang tertawan, dan tidak dirampas harta mereka, dan tidak pula dibunuh mereka yang terluka.(46)
(Fasal): Barang siapa yang murtad dari Islam, maka dia harus diminta untuk bertaubat sebanyak tiga kali, apabila dia mau bertaubat, bila tidak mau dia harus dibunuh,(47) jenazahnya tidak dimandikan, tidak disholati, dan tidak dikuburkan di pemakaman Islam.(48)
(Fasal): Orang yang meninggalkan sholat ada dua kategori:
Pertama: Meninggalkan sholat karena dia berkeyakinan bahwa sholat itu tidak wajib, maka hukumnya dia murtad.(49)
Kedua: Dia meninggalkan sholat karena malas, dia berkeyakinan bahwa sholat itu wajib, maka dia harus diminta untuk bertaubat, apabila dia bertaubat dan sholat lagi, bila tidak, maka dia dibunuh sebagai had,(50)dan dia dihukumi sebagai muslim.(51)



(1)  Penjelasan tentang muhshon dapat dibaca pada halaman: 124, CK. no: 4. Hadits riwayat al Bukhary (6430), dan Muslim (1691), dari Abi Hurairoh ra. ia berkata: Seorang lelaki datang kepada Rasulullah saw. ketika itu beliau berada di dalam masjid, dia memanggil beliau sambil berkata: Wahai Rasulullah, saya telah berzina, beliau tidak emnghiraukannya, sampai lelaki itu mengulangi pernyataannya sebanyak empat kali. Ketika dia bersaksi pada dirinya sendiri sebanyak empat kali, maka Nabi saw. memanggilnya dan bertanya: “Apakah engkau gila?” Ia menajwab: Tidak. Beliau bertanya: “Apakah engkau sudah muhshon?” Dia menajwab: Ya, sudah. Maka Nabi saw. bersabda: “Pergilah kalian dengan orang ini dan rajamlah dia”. Jabir menyatakan: Saya termasuk orang yang ikut merajamnya, maka kami marajamnya di musholla. Tatkala batu lemparan mengenainya dengan keras, maka dia melarikan diri, lalu kami tangkap dia di tempat berbatuan hiatm, kemudian kami rajam dia. Lelaki diamksud adalah Ma’iz bin Malik al Aslamaie ra.. muhson artinya sudah menikah, musholla  adalah tempat orang sholat Ied dan sholat janazah. Hadits riwayat al Bukahry (6467), dan Muslim 1697), dari Abi Hurariroh dan Yazid bin Kholid ra. keduanya berkata: Datang seorang lelaki kepada Nabi saw. dan berkata: Saya bersumpah di hadapanmu karena Allah, kecuali bila memberikan keputusan antara kami dengan kitab Allah, beliau bertanya: Musuhnya, dan ia lebih faqih dari padanya. Ia menajwab: benar, hukumilah antara kami dengan kitab Allah. Dan izinkanlah saya wahai Rasulullah, maka Nabi saw. bersabda: “Katakanlah”, ia berkata: Sesungguhnya anak saya  sebagai pekerja upahan pada keluarga ini, maka dia berzina dengan isterinya. Maka saya membarikan tebusan berupa 100 ekor kambing dan seorang budak, dan saya bertanya kepada seorang lelaki ahli ilmu, dia memberitahukan kepadaku, bahwa anakku harus dicambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun, sedangkan atas permpuan ini harus dihukum rajam. Maka beliau bersabda: “Demi Dzat di mana diriku berada di genggaman tangan-Nya, sungguh akan saya hakimi antara kamu berdua dengan kitab Allah: 100 ekor kambing dan satu budak dikembalikan kepadamu, untuk anakmu dicambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Wahai Unais besok pagi perempuan ini agar engkau tanyai, apabial dia mengakuinya, maka rajamlah dia”. Ternyata perempuan tersebut mengakuinya, maka dia dirajam. Oleh karena apa yang diputuskan oleh Rasulullah saw. pada dasarnya adalah berdasarkan al Qur’an, sebagaimana firman Allah Ta’alaa: “Apa saja yang dibawa oleh Rasulullah, maka ambillah, dan apa yang dilarang bagimu dari padanya, maka hindarilah”, (al Hasyer:7). Unais adalah Ibnud Dluhaq al Aslamie ra.
(2)  Allah Ta’alaa berfirman: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka cambuklah tiap-tiap orang 100 kali cambuk, dan ajnganlah belas kasihan kepada keduanya dalam hal menjalankan agama Allah, apabila kamu beriman kepada Allah dan ahri akhir, dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka itu disaksikan oleh sekumpulan orang-orang ayng beriman”. (an Nuur: 2). Yang diamaksudkan pezina laki-laki dan waniat di sini adalah pezina ghori muhshon, dapat diketahui bahwa pezina muhshon wajib dirajam (dilempari batu sampai mati). Dalil yang menunjukkan bahwa wajib diasingkan selama satu tahun adalah hadits al Bukahry dan Muslim di muka pada CK. No: 1. Dan hadits riwayat al Bukhary (6443), dari Zaid bin Kholid ra. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. memerintahkan terhadap orang yang berzina dan dia belum muhshon (belum nikah), dengan hukuman cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Ibnu Syihab menyatakan: Telah memberitahukan kepadaku Urwah bin az Zubair: bahwa Umar ibnul Khothob, mengasingkannya satu tahun sempurna. Menurut riwayat Muslim (1690) dari Ubadah bin as Shomit ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Pezina laki-laki masih jejaka dengan wanita masih perawan, maka mereka dicambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun”. Maksud diasingkan adalah dijauhkan dari negerinya (dibuang).
(3)  Atau lebih, berdasarkan pertimbangan hakim bahwa keputusan itu adil, tidak boleh kurang dari jarak tersebut, oleh akrena tidak disebut bepergian, dan tidak menghasilkan apa yang diamksud, yakni menjauhkan dia dari kehidupan masyarakat negerinya. Tidak ada perbedaan antara laki-lakai dan wanita, dan untuk wanita harus ditemani oleh mahromnya, karena keharaman wanita bepergian tanpa mahromnya.
(4)  Pezina muhson itu, mereka yang sudah pernah menikah dan melakukan persetubuhan dengan isterinya yang shah, dan akad nikahnya shah, untuk sempurnanya persyaratan dan rukun nikah sebagaimana ditentukan oleh syara’, antara lain ada wali, ada saksi yang adil, dan sebagainya. Demikian pula pezina muhshon wanita, pezina yang telah menikah dan disetubuhi suaminya yang shah, dan akad pernikahannya shah sebagaimaan dijelaskan di atas. Tidak dipersyaratkan hubungan suami isteri masih berlangusng, tetapi apabila sudah cerai sekalipun asal sudah sesuai dengan apa yang baru dijelaskan, apabila melakukan perzinaan dianggap sebagai pezina muhshon dan hukumannya dirajam. Apabila hilang salah satu syarat empat di atas, maka tidak dianggap pezina muhshon, dan tidak dihukum rajam, tetapi dicambuk dan dibuang seperti yang belum menikah, sekalipun sudah baligh atau berakal sehat, dan diberikan pendidikan tentang betapa tercelanya perbuatan zina, bila masih anak-anak atau gila.
(5)  Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Apabila mereka mengerjakan perbuatan keji (zina) maka atas mereka hukumannya separo dari hukuman wanita merdeka”. (an Nisak: 25). Artinya wanita budak sebagaimana dijelaskan dalam an Nisak ayat 25 pula: “dari budak-budak wanita ayng kamu miliki, yang mereka itu berioman”. Maksud dari kata:  "المحصنات" adalah wanita merdeka. Perhatikan CK. No: 3 Kitab Nikah. Maksudnya: Apabila wanita budak melakukan perzinaan, maka hukumannya separo dari hukuman wanita merdeka, yakni dicambuk sebanyak 50 kali dan diasingkan selama setengah tahun, baik dia bersuami atau tidak, karena tidak ada hukuman setengah rajam, untuk budak lelaki diqiyaskan dengan budak wanita, oleh karena maknanya sama.
(6)  Liwath adalah: melakukan hubungan seksual ke dalam dubur, demikian pula bila orang melakukan sodomi terhadap wanita bukan mahrom melalui duburnya. Hukuman ats pelakunya sama dengan hukuman bagi pezina, oelah kerena termasuk perbuatan keji, maka dirajam bila yang melakukan sudah muhshon, dan dicambuk bila pelakukan masih belum pernah nikah. Adapun sebagai kurbannya, dikenai hukuman sebagi ghoriu muhshon secara mutlak, sekalipun sudaj menikah, oleh karena yang disebut pezina muhshon adalah orang yang menytubuhi – atau disetubuhi – persetubuhan melalui organ tubuh yang wajar. Dan orang yang disodomi tidak sama dengan disetubuhi, oleh karena itu yangdisodomi tidak berpredikat muhshon. Adapun orang yang meyetubuhi hewan, maka hukumannya di-ta’zir(diberi sangsi agar jera)  bukam hukuman yang baku, berdasarkan pendapat yang benar dan terkenal dalam madzhab as Syafi’ie, oleh karena perbuatan yang tidak menarik jiwa, bahkan dijauhi oelha tabiat manusia sehat, dan jiwa yang sehat tidak akan tertarik dengan perbuatan tersebut, berdasarkan ketentuan yang tidak disyari’atkan dalam Islam. Ta’zir adalah: pengajaran yang ditetapkan oleh hakim Islam yang adil, mungkin dengan sangsi pukulan, diasingkan, dipenjara, atau dipermalukan, dan sebagainya, oleh karena dianggap suatu perbuatan maksiyat yang tidak ada sangsi hukum yang tegas dan tidak ada kafaratnya. Apabila tidak ada ketentuan hukum yang pasti, maka wajib ditetapkan oleh Hakim sebagai ta’zir, atas pelanggarannya terhadap norma kemanusian, serta kemaksiyatan, yang tidak ada ketentuan hukum (had) dan tidak ada kafaratnya.
(7)  Kata : "وطئ" di sini berarti: menyentuhkan kemaluannya kepada jasad wanita ajnabiyah (bukan isteri dan bukan mahrom) atau kepada lelaki ajnabie (bukan suami dan bukan mahrom), dan semacamnya yang mengarah kepada pendahuluan persetubuhan, seperti ciuman dan sebagainya. Berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud (4465), dan at Tirmidzy (1455), dari Ibnu Abbas ra. ia berkata: Tidak ada had (hukuman) bagi orang yang menyetubuhi hewan. Dan pernyataan semacam ini bukanlah dari hasil pemikiran, tetapi hukumnya marfuk berasal dari Nabi saw.
(8)  Had (hukuman) peminum khomer dicambuk sebanyak 40 kali, maka untuk ta’zir wajib kurang dari itu, berdasarkan hadits riwayat al Baihaqy (VIII/327), dari an Nu’man bin Basyir ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa yang memberikan hukuman kepada pelaku kejahatan yang tidak ditentukan hadnya (hukumannya) sampai sama dengan had, maka dia sudah termasuk orang yang melampaui batas”. Pengertian:   "فى غير حـد" adalah: perbuatan yang tidak mewajibkan pelakunya wajib di had (dihukum), yang dimaksudkan adalah had yang paling rendah, sebagaimana yang telah anda ketahui.
(9)  Menduga dan menuduh orang telah melakukan perzinaan, misalnya dia menyatakan: Hai pezina, hai wanita pezina, atau mengatakan: “dia itu bukan anak pak Fulan”, berarti dia telah menuduh ibunya sebagai pezina, dan sebagainya.
(10)  Karena had adalah sebagai hukuman, sedangkan anak-anak dan orang gila bukan orang yang sudah dibebani hukum atasnya.
(11)  Oleh karena orang tua tidak akan dibunuh karena membunuh anaknya sebagaimana yang telah anda ketahui. Maka tidak ditegakkan hukum had apabila ayah atau ibu menuduh anaknya dan ini yang tepat. Disamakan dengan orang tua adalah asal keluarga yang lebih atas (kakek misalnya), baik laki-laki atau wanita.
(12)  Tidak pernah dihukum sebab perzinaan sebelumnya, berdasarkan firman Allat ta’alaa: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik berbuat zina dan mereka tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, maka deralah (cambuklah) mereka  80 kali cambuk”. (an Nuur : 4). Dipersyaratkannya hukuman had bila tertuduh adalah orang yang baik-baik, inilah syarat ihshon. Dalil yang menunjukkan disyaratkannya Islam, merdeka dan iffah: firman Allah Ta’alaa: “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita ayng baik-baik yang tidak berpikir untuk zina lagi beriman, mereka terkena laknat di dunia dan di akhirat, dan bagi mereka adzab yang sangat pedih”. (an Nuur: 23). Dan hadits riwayat ad daroquthny dalam Kitab Sunannya (III/147), dari Ibnu Umar ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa menyekutukan Allah, maka dia bukan orang muhshon (baik)”. Menurut ad Daroquthny: yang benar ini adalah terhenti hanya sampai perkataan Ibnu Umar, bukan dari Nabi saw. (hadits mauquf). Juga diwajibkannya had atas penuduh, karena dia menuduh orang dengan dusta, sebagai pemulihan aib (cela) pada tertuduh, begitu pula orang yang diketahui bahwa tidak terpelihara dari perbuatan zina lebih kuat dibandingkan dengan dugaan kebenaran sipenuduh. Demikian pula orang kafir di mana tidak ada pada diri mereka potensi untuk mencegah diri dari perbuatan keji. Adapun tentang dipersyaratkannya harus berakal sehat dan baligh, oleh karena orang gila dan anak-anak tidak terdapat hal-hal yang cela. Hukuman had terhadap penuduh secara syar’ie adalah untuk menolak adanya tuduhan pelecehan terhadap tertuduh sebagaimana anda ketahui.
(13)  Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik berbuat zina, dan mereka tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka itu 80 kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka  untuk selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang fasik”. (an Nuur: 4). Ayat ini diperuntukkan bagi orang yang merdeka, sedangkan untuk budak hukumannya setengah dari orang meredeka, sebagaimana yang telah anda ketahui.
(14)  Sebagtai bukti bahwa penuduh benar dan apa yang ditudahkan bahwa tertuduh berzina adalah benar, berdasarkan firman Allah ta’alaa: “Kemudian dia tidak dapat mendatangkan empat orang saksi”, hal itu menununjukkan bahwa apabila penuduh dapat mendatangkan emapat orang saksi, maka dia tidak di-had (dihukum) atas tuduhannya, dan perzinaan benar dilakukan oleh tertuduh.
(15)  Oleh karena hukuman (had) tuduhan untuk menolak tercemarnya nama baik tertuduh, oleh karena itu sebagai hak yang pasti bagi anak manusia, maka gugurlan hukuman had atas penuduh bila dimaafkan oleh tertuduh, oleh karena had itu tidak dapat dihapuskan kecuali atas izin atau diminta oleh tertuduh, seperti halnya hukum qishos.
(16)  Artinya bila seorang suami menuduh isterinya berbuat zina, dan dia tidak dapat mendatangkan baukti atau saksi, maka dia dihukum (had), kecuali bila dia berani mengucapkan sumpah li’an. Apabila suami sebagai penuduh berani bersumpah li’an, maka gugurlah hukuman had dari padanya. Perhatikan: CK. No: 59 dan 60 Kitab Jinayat.
(17)  Bagaimanapun wujud zatnya dan berbeda namanya, yang sama-sama dapat membuat orang menjadi mabuk, sedikit atau banyak. Rasulullah saw. telah ditanya tentang: “bit’ie” yakni minuman keras yang terbuat dari madu, dan “al mirzi” yakni menuman keras yang terbuat dari bahan gandum atau bulir, maka Rasululah saw. bertanya: “Apakah memabukkan?”. Ia menajwab: Ya.  Beliau bersabda: Semua yang memabukkan hukumnya harom, sesungguhnya bagi Allah Azza wa Jalla ada satu janji, bagi orang yang meminum yang memabukkan, akan diberi minuman dari lumpur yang kotor. Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, apakah yang diamksud dengan lumpur kotor? Beliau menajwab: “Keringat penghuni neraka, atau perasan penghuni neraka”. Perhatikan hadits riwayat Muslim: 2001 – 2003. Hadits riwayat Abu Dawud (3688), dan lainnya, dari Abi Malik al Asy’ari ra. bahwasany dia mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Niscaya ummatku akan minum khomer, yang dinamakan dengan nama selain khomer”. Hadits riwayat Abu Dawud (3681), dan at Tirmidzy (1866), dan lainnya, dari Jabir ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Segala sesuatu bila banyak memabukkan, maka walaupun hanya sedikit hukumnya haram pula”.
(18)  Hadits riwayat Muslim (1706), dari Annas  ra. bahwasanya Nabi saw. mencambuk peminum khomer, menggunakan sendal dan pelepah daun kurma sesudah dibersihkan dari lembar daunnya, sebanyak 40 kali.
(19)  Apabila Imam (kepala negara) memandang perlu dan adil dalam hali itu, termasuk apabila gejala melkukan minum khomer itu sudah memasayarakat, dan sudah demikian membahayakan masyarakat, sebagai menghasilkan efek jera yang kuat. Hadits riwayat Muslim (1706), dari Annas ra. bahwasanya Nabi saw. menjilid (mencambuk) peminum khomer menggunakan sendal, lalu Abu Bakar mencambuk sebanyak 40 kali, ketika pemerintahan Umar – ra – di mana manusia makin mendekati daerah yang subur dan perkotaan, di bertanya:: Apa pendapatmu tentang hukuman cambuk untuk peminum khomer? Abdurrahman bin Auf berkata: Saya berpendapat agar dihukum hampir mendekati had yang paling ringan, ia berkata: Maka Umar mencambuk sebanyak 80 kali. Dasar tambahan dari 40 kali adalah itu sebagai ta’zir, sebagaiaman hadits riwayat Muslim (1707), bahwasanya Utsman ra. memerintahkan menjilid (mencambuk) Walid bin Uqbah bin Abi Mu’aith, maka Abdullah bin Ja’far menjilidnya  ra. Ali ra. mengulangi lagi sampai mencapai 40 kali. Kemudian Utsman berkata: Stop. Lalu Utsman berkata: Nabi saw. mencambuk 40 kali, Abu Bakar mencambuk 40 kali, Umar mencambuk 80 kali, dan berlaku seluruh tahun dan itu yang aku sukai. Yakni cukup hanya 40 kali saja, karena Rasulullah saw. melakukannya. Dan itu yang lebih berhati-hati dalam menghukum pezina, dibanding dengan menambah hukuman lebih dari yang semestinya, dan itu suatu kedholiman. Dan tidak boleh pelaksanaan hukuman pada saat sedang mabuk, oleh karena tidak menghasilkan efek jera.
(20)  Artinya orang pasti di had (dihukum) karena minum minuman yang memabukkan, apabila ada orang yang menyaksikan perbuatannya minimal dua orang, atau ikrarnya sendiri bahwa dia telah minum khomer. Hadits riwayat Muslim (1207): Hendkalah ada  dua orang saksi, atau adaanya ikrar yang bersangkuta, sebagai alasan yang menduduki kedudukan saksi.
(21)  Yakni menicum bau orang yang mambuk dari mulutnya, sebab dimungkinkan dia minum khomer karean dipaksa pihak lain, atau karena dalam keadaan darurat, atau salah minum, oleh karena bau khomer kadang serupa dengan bau minuman lainnya, maka dalam urusan ini mengahasilkan keraguan (keterserupaan) dalam pelanggaran hukum minum minuman yang memabukkan, dan oleh karenanya  hukuman (had) menjadi gugur sebab adanya keraguan.
(22)  Dasarnya adalah firman Allah Ta’alaa: “Pencuri laki-laki dan pencuri wanita, maka potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan tas apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (al Maidah: 38). Pencuri adalah orang yang mengambil harta bukan miliknya, harta tersebut tersimpan pada tempat penyimpanan yang sesuai (tepat), dengan cara  yang tidak shah.
(23)  Berdasarkan hadits riwayat al Bukahry (6407), dan Muslim (1684), sesuai dengan lafadh Muslim, dari A’isyah ra. dari Rasulullah saw. beliau bersabda: “Tidak dipotong tangan pencuri kecuali sudah mencapai seperemat dinar atau lebih”. Satu dinar sama dengan setengah lira satuan uang Inggris dari bahan emas.
(24)  Tempat penyimpanan: adalah tempat untuk menjaga barang tersebut sesuai dengan kebiasaan, atau yang dapat diperkirakan mampu mencegah masuknya tangan yang bukan pemiliknya untuk mengambilnya. Dalil yang menunjukkan dipersyaratkannya tempat penyimpanan banyak hadits, antara lain: hadits riwayat Abu Dawud (4390) dan lainnya, dari Abdullah bin Amru Ibnul Ash ra. dari Rasulullah saw. bahwasanya beliau ditanya tentang buah-buahan yang masih berada pada pohonnya, beliau bersabda: “Barang siapa yang memasukkan ke mulutnya karena sangat membutuhkan, dan tidak mengambil untuk diamsukkan kedalam bajunya, maka hal itu tidak apa-apa, barang siapa yang keluar dari kebun dengan membawa sesuatu dari kebun itu, maka dia wajib mengganti yang serupa, dan mendapatkan hukuman, dan barang siapa yang mencuri sesuatu yang berada di dalam penyimpanan, dan mencapai harga seauai dengan harga sebuah perisai, maka dia wajib dipotong tangannya”. Harga sebuah perisai sama dengan seperempat dinar.
(25)  Di dalam harta yang dicuri, apabila pencuri mempunyai hak terhadap harta tersebut, misalnya seorang mencuri harta persekutuan (harta bersama), maka tidak dipotong tangannya.
(26)  Pencuri tidak seolah-olah sebagai pemilik harta yang dicuri, apabila seorang ayah mencuri harta anaknya atau seorang anak mencuri harta ayahnya, maka tidak dipotong tangannya, karena adanya syubhat dalam kepemilikan harta, karena anak berhak mendapatkan nafkah dari ayah, atau sebaliknya ayah  berhak mendapatkan nafkah dari  anak yang  sudah mandiri.
(27)  Kata:  "الكوع" : adalah tulang yang menonjol di atas ibu jari, sebagai pemisah antara telapak tangan dengan lengan bawah. Dalil yang menunjukkan bahwa dipotong tangan kanan adalah bacaan Ibnu Mas’ud ra. :  "فاقطعوا أيمانها" yakni hukum dari hadits ahad dari ketika berhujjah dangannya untuk menentukan suatu keputusan hukum. Menurut at Thobrony: bahwasanya  Nabi saw. datang dengan membawa seorang pencuri, maka beliau memotong tangan kanannya (al Mughnie: IV:177). Dan keadaan pemotongan tangan dari pergelangan tangan, berdasarkan hadits tenatng seorang pencuri yang mengambil jubah Shofwan ibnu Mu’awiyah ra. Menurut ad Daroquthny (III/205): Kemudian beliau memerintahkan untuk memotong tangannya dari pergelangan tangan.
(28)  Hadits riwayat ad Daroquthny (III/103), dari Ali ra. ia berkata: Apabila seorang mencuri, maka dipotong tangan kannya, apabila mengulangi lagi perbuatan mencurinya, maka dipotong kaki kiri, dipotong mulai dari pergelangan pemisah antara betis dengan telapak kaki, berdasarkan perbuatan Umar ra., dan perbuatan Umar tersebut tidak diiangkari oleh seorangpun, maka hal itu dianggap sebagai ijmak (Nihayah: III/60).
(29)  Hadits riwayat Malik di dalam al Muwathok (II/835), dan as Syafi’ie di Musnadnya (al Um: VI/255): Bahwa seorang laki-laki dari penduduk Yaman dipotong tangan dan kaki. Lalu dia datang kepada Abu bakar as Shiddiq untuk mengajukan keberatan (soamsi) karena petugas di Yaman telah mendholiminya. Dia melaksanakan sholat malam, maka Abu bakar berkata: Dan ayahmu tidak pernah menghabiskan malam seperti kamu untuk mencuri. Kemudian mereka kehilangan kalung milik al Asmak binti Umais, salah seorang isteri Abu Bakar as Shiddiq. Lelaki tadi di sambil bekeliling bersama mereka, ia mengatakan: Yaa Allah, Engkau berhak menghukum orang yang membuat ahli bait yang sholeh menjadi bingung dan yang mengambil harta mereka. Maka mereka mendapati perhiasan yang hilang itu berada di tukang emas, orang mengira bahwa orang yang terpotong tangannya datang ke tukang emas membawa perhiasan tersebut, maka ternyata lelaki tadi mengaku, maka dipotong algi tangannya sebelah kiri. Abu  Bakar berkaat: Demi Allah do’a dia kepada dirinya lebih berat menurut aku dari pada perbuatan dia mencuri.
(30)  Diriwayatkan oleh as Syafi’ie dengan sanadnya, dari Abi Hurairoh ra., bahwasanya Rasulullah saw. bersabda tenatng seorang pencuri: “Apabial mencuri, maka potonglah tangannya, lalu apabila mencuri lagi, maka potonglah kakinya, lalu apabila mencuri lagi, maka potonglah tangannya, lalu apabila mecuri lagi, maka potonglah kakinya”. (Mughnie al Muhtaj: IV/178, perhatikan: al Um: VI/138).
(31)  Diberi sangsi berdasarkan keputusan hakim, untuk memberikan efek jera kepadanya, dengan pukulan, atau dipenjara, atau diasingkan, oleh karena pencurian ke lima ini dianggap sebagai perbuatan maksiyat, dan tidak ada had sesudah kali yang keempat, maka hal ini memastikan dengan sangsi ta’zir.
(32)  Berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud (4410) dan lainnya, ini satu pendapat yang jelas-jelas dloif (lemah), karena hadits ini dloif. Dan ijmak ulama menentang pendapat ini, seandainya hadits ini benar, maka hadits ini sudah di mansukh (dihapus), di dalam sebagaian teks kitab: “Dia dibunuh dengan pelan-pelan” artinya dipenjarakan sampai mati, walapun hanya satu hari saja.
(33)  Mereka adalah sekelompok orang yang memiliki kekuatan, yang memberikan doktrin jahat antara masing-masing mereka, mereka saling membantu untuk memwujudkan keinginannya dengan cara seolah-olah mereka saling bermusuh, mereka mengintai orang di tempat persembunyian mereka, apabila mereka melihat mangsanya, maka mereka menampakkan diri, untuk merampas harta bawaan mangsanya, kadang-kadang mereka tega menghilangkan nyawa pemilik harta yang dirampoknya.
(34)  Digantungkan pada dua batang kayu dengan keadaan disalib, sesudah dimandikan, dikafani dan disholati, apabila mereka itu musli, untuk penguatan sebagai contoh dan agar terkenal akibat perbuatan mereka, atas kekejian serta besarnya dosa mereka, dan  membuat efek jera terhadap yang lain. Disalib selama tiga harti selama tidak membusuk, apabila membusuk, maka diturunkan sebelum tiga hari.
(35)  Dipotong tangan kanan dan kaki kiri, apabila mengulangi lagi perbuatan tersebut, maka dipotong tangan kiri dan kaki kanan.
(36)  Membuat rasa takut kepada manusia, dengan cara  berdiri di tengah jalan dan menunjukkan perlawanan kepada orang yang lewat.
(37)  Dita’zir dengan cara dipukuli dan sebagainya, berdasarkan keputusan hakim untuk mebuat efek jera serta memalukan mereka. Yang baik dipenjarakan di daerah bukan daear dia tinggal, oleh karena agar mereka jera dan merasa benar-benar malu. Pemenjaraan tersebut sampai mereka bertaubat dan menempuh jalan hidup yang lurus, sebagai sikap berhati-hati terhadap keamanan masayarakat. Dara dari hal ini adalah firman Allah Ta’alaa: “Sesungguhnya balasan orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, adalah dibunuh mereka itu dan disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari negeri mereka. Yang demikian itu sebagai suatu penghinaan terhadap mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapatkan siksa yang amat hebat”. (al Maidah: 33). Pengertian memusuhi Allah dan Rasul-Nya adalah menentang perintah Alah dan Rasul-Nya, dengan memusuhi makhluk Allah, dan membuat kerusakan di muka bumi, mereka itu melakukan perbuatan yang merusak kehidupan, dengan cara membunuh dan merampas harta, menimbulkan rasa takut dan kegelisahan dalam masyarakat luas.  Ibnu Abbas menafsirkan sebagaimana dijelaskan di atas, sebagaimana diriwayatkan oleh as Syafi’ie rohimahullah di dalam kitab Musnadnya (al Um: VI/655 : Hamas).
(38)  Gugur hukuman sebagai perampok seperti dijelaskan di atas, ini khusus bagi penyamun, berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Kecuali mereka yang bertaubat sebelum tertangkap, maka ketahuilah bahwa Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (al Maidah: 34).
(39)  Misalnya dengan diqishos, atau mengganti harta yang dirampok, atau lainnya.
(40)  Dia tidak dituntut untuk mengganti apa yang telah dihilangkannya, dan dia tidak berdosa atas perbuatannya itu, kalau yang orang yang sengaja hendak berbuat jahat tersebut dibunuhnya, maka dia tidak dikenai hukuman qishos, dan tidak wajib membayar diyat atau kafarat, kalau yang dibunuh berupa hewan, maka dia tidak dituntut untuk mengganti harganya, demikian pula bila yang dihilangkannya adalah anggota tubuh, atau menyebabkan cacat tubuh. Apabila tidak mampu menolak serangan tersebut, kemudian dia terpaksa mati, maka dia mati syahid, dalam hukum fiqih Islamie hal ini dinamakan:  "دفع الصائل" (mempertahankan diri dari serangan pihak lain), membela diri dari orang lain yang berbuat dholim untuk mendapatkan harta, nyawa atau kehormatannya. Dasar masalah ini adalah firman Allah Ta’alaa: “Barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia sebanding dengan serangannya terhadapmu”. (al Baqoroh: 194). Artinya tolaklah serangan mereka sebanding dengan serangannya, dan ini jelas disyari’atkan agar orang menolak penyerangan, serta mempertahankan diri. Dan hadits riwayat Abu Dawud (4772), dan at Tirmidzy (1420), dan lainnya, dari Sa’id Ibnu Zaid ra., dari Nabi saw. beliau bersabda: “Barang siapa yang terbunuh karena memeprtahankan hartanya, maka dia syahid, dan barang siapa yang terbunuh karena mempertahankan agamanya, maka dia syahid, dan barang siapa yang terbunuh karena mempertahankan darahnya (jiwanya), maka dia syahid, dan berang siapa terbunuh karena mempertahankan keluarganya, maka dia syahid”. Yang dimaksudkan dengan keluarga adalah: isteri, dan lainnya, seperti anak, saudara, ibu, dan semua orang dia harus berhutang disebabkan oleh mereka (menjadi tanggung jawabnya). Arah dari hadits, bahwa bila mati dia syahid, hal ini menunjukkan bahwa dia berhak untuk melawannya, sebagaimana orang syahid dalam peperangan, karena dia melawan musuh dalam peperangan. Dan suatu yang mungkin terjadi dari perlawanan tersebut dia membunuh lawan. Hal itu menunjukkan bahwa diizinkan baginya untuk membunuh lawannya, dan semua yang diizinkan tidak ditunutut oleh hukum. Apabila dia perlawanan itu  harus sebanding dengan serangan yang dia terima, dan bila mungkin menolak serangan dengan menjerit untuk meminta tolong kepada orang lain, tanpa memaksakan diri ahrus memukul, dan kalu toh terpaksa harus memukul, agar diusahakan tidak sampai memutuskan bagian anggota tubuh penyerang. Melawan itu hukumnya wajib bila penyerang mengancam keselamatan jiwa atau kehormatan. Meninggalkan perlawanan dan menyerahkan diri kepada orang dholim tidak diperbolehkan, kecuali bila penyerang adalah muslim, maka dia boleh tidak melawan, dan itu yang dianjurkan. Tetapi apabila penyerang menginginkan harta, maka orang boleh melawan atau tidak melawan, oleh karena dia memiliki hak untuk menghalalkan hartanya kepada orang lain. Dalil yang menunjukkan demikian adalah hadits riwayat Ahmad di dalam kitab Musnadnya (III/487), bahwasanya Rasulullah saw.bersabda:  “Barang siapa tahu bahwa di sampingnya ada orang yang dihinakan oleh orang mukmin lain, dia tidak mau menolongnya, padahal dia mampu untuk menolongnya, maka Allah kan menghinakannya dihadapan mata setiap makhluk nanti pada hari qiyamat”.
(41)  baik yang rusak/hilang itu kainya, atau mulutnya dan sebagainya, oleh karena kerusakan tersebut disebabkan kelengahannya. Dasar dari permasalahan ini adalah hadits riwayat Abu Dawud (3570), dan lainnya, bahwasanya Nabi saw. memutuskan: Bagi pejnaga kebun bertanggung jawab di siang hari, sedang bagi penjaga hewan (pengembala) bertanggung terhadap apa yang terjadi pada hewan piaraannya pada malam hari. Arah dari dalil ini, bahwa menurut kebiasaan yang berlaku: bahwa penjaga kebun menjaga tanaman pada siang hari, dia meninggalkan tugasnya pada malam hari, sedangkan pengembala melepasakan hewan gembalaannya di siang hari dan dia harus menjaga di malam hari. Maka Rasulullah saw. memutuskan sesuai dengan kebiasaan ini. Apabila penjaga kebun lengah, dia tidak berjaga di siang ahri, lalu dimasuki oleh hewan dan kebunnya menjadi rusak, maka penjaga kebun harus mengganti kerusakan tersebut. Apabila yang lengah penjaga hewan, dia membiarkannya ternaknya mencari makan di malam hari, dan ketika penjaga kebun melihat terdapat kerusakan sebab dimakan hewan, maka penjaga hewan bertanggung jawab untuk mengganti semua kerusakan akibat hewan ternaknya.  Keputusan Rasulullah tersebut menunjukkan: bahwa barang siapa yang diberi tanggung jawab sesuatu, kemudian dia lengah dalam menjalankan tugasnya, dan akibat kelengahan itu terjadi suatu kehilangan/kerusakan, maka dia bertanggung jawab untuk menggantinya. Diqiyaskan hilangnya hewan diamksud, dengan hilangnya sebuah kendaraan di zaman sekarang sebab kelengahan sang sopir, maka sopir tersebut wajib mengganti semua yang hilang/rusak akibat kelengahannya, karena seharusnya dia mampu untuk menjaganya dengan baik. Termasuk misalnya kendaraannya berdebu, dan kotor, akibat dari kecepatan yang tinggi, maka apabila terjadi kecelakaan dan sebagainya, maka sopir bertanggung jawab untuk mengganti atau berhadapan dengan hukum.
(42)  Mereka itu dari kaum muslimin, yang tidak tunduk kepada pemerintah yang sah, yang ditegakkan (dipilih) oleh semua ummat islam, mereka menolak untuk melaksanakan kewajiban yang dibebankan kepada mereka oleh negara. Maka mereka itu harus diperangi oleh seluruh ummat Islam, sebab mereka menafsirkan hukum bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, mereka memproklamirkan bahwa mereka yang benar dan merekalah yang berkuasa dalam negara itu. Penumpasan terhadap mereka ini hukumnya wajib bagi penegak keadilan bersama-sama dengan pemerintah, apabila memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang disebutkan. Dasar disyari’atkannya memmerangi ahli bughohadalah firman Allah Ta’alaa: “Dan jika ada dua golongan sesama mukmin berperang, maka damiaknalah antara keduanya. Jika salah satunya berbuat aniaya terhadap golonga  yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga mereka kambali kepada perintah Allah. Jika sudah kembali kepada perintah Allah, maka damaikanlah antara kedua belah pihak dengan adil, dan berlakulah adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (al Hujurot: 9). Arah dalil ini: bahwa hukumnya wajib memerangi golongan yang memebrontak, berdasarkan perintah dari imam (kepala negara), apabila anaiayat itu dari satu golongan ke golongan yang lain. Tetapi apabila pemberontakan itu ditujukan kepada pemerintah secara langsung, maka pemerintah wajib memeranginya. Hadits riwayat Muslim (1852), dan lainnya, dari Arfajah ra. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa yang datang kepadamu dalam urusan ummat Islam, untuk mengikuti seseorang tertentu untk memecahkan tongkatmu atau memisahkan persetuanmu (jama’ahmu), maka bunuhlah dia”. Dalam satu riwayat lain: “Barang siapa yang menghendaki memecah belah persatuan ummat Islam, maka pukullah dia dengan pedang, di mana saja orang berada”. Memecahkan tongkat sebagai kinayah kiasan dari membuat perpecahan ummat Islam dan  mencerai beraiknan jiwa ummat Islam, sampai ummat Islam terpecah belah bagaikan tongkat yang hancur.
(43)  Atau kekuatan yang memungkinkan mereka itu menggoyangkan kedudukan pemimpin yang sah dan pemegang kendali keadilan, dimungkinkan adanya kelompok-kelompok yang bergabung kepada mereka, dan adanya kekuatan yang melindunginya (menjadi backing) dalam pemberontakan tersebut, atau sudah merebut beberapa daerah muslim, oleh karena mememranginya (menumpasnya) untuk mencegah kejahatan mereka terhadap ummat. Apabila tidak memiliki kekuatan, maka tidak perlu dikhawatirkan kejahatan mereka.
(44) Atau rajanya, dengan memisahkan diri dari negara datau kota, dan mereka memiliki pemimpin yang mereka taati.
(45)  Syubhat dan membingungkan, baik dari kitab maupun sunnah, yang membolehkan mereka keluar dari kekuasaan imam yang sah, atau menolak kebenaran dan membawanya memihak kepada mereka. Barang siapa yang keluar tanpa melakukan penafisran yang salah, maka hal itu dianggap sebagai pelanggaran tetapi bukan pemberontakan. Sebagaimana penafsiran sebagian orang yang keluar dari kekuasaan Ali ra., karena mereka mengetahui bahwa pembunuh Utsman bin Affan ra. dan mereka tidak dipisahkan dari mereka, dan itu adalah kafir, karena mengabaikan hukum yang diturunkan oleh Allah Azza wa Jalla. Dan Allah berfirman: “Barang siapa yang tidak berhukuim dengan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu kafir”. (al Maidah: 44). Begitu pula penafsiran orang yang enggan membayar zakat kepada Abu bakar ra., bahwa mereka tidak membayar zakat kecuali kepada orang yang mengajak mereka dana merahmati mereka, yakni Rasulullah saw. Oleh karena Allah berfirman: “Ambillah dari harta mereka zakat, untuk membersihkan mereka dan mensucikan mereka, dan do’akanlah mereka. Sesungguhnya do’amu itu menjadi ketenteraman jiwa bagi mereka”. (at Taubah: 103). Apabila hilang salah satu syarat dari tiga syarat tersebut di atas, maka tidak dinamakan bughoh, dan tidak wajib diperangi, tetapi  mereka dituntut berdasarakn hukum yang ebrlaku sesuai dengan kesalahan mereka, dan tidak diberlakukan tindakan sebagai pemberontak. Di samping itu juga dipersyaratkan agar sebelumnya pemerintah mengirim delegasi yang terdiri dari orang terpercaya  dan cerdas, untuk membujuk mereka agar bersedia kembali taat kepada pemerintah yang sah, serta membuka kesalahan mereka dalam menafsirkan suatu persolanan, apabila mereka memiliki penafsiran yang rancu, dan mencoba berdialog untuk mencari tahu tentang sisi mana yang tidak mereka sukai terhadap kepemimpinan kepala negara yang sah, dan memberikan ancaman akan akibat rencana mereka untuk berontak, dan mmebrikan ancaman akan diperangi (dibunuh) apabila mereka tetap melaksanakan rencana mereka tersebut. Dasar dari permasalahan ini, bahwa Allah Ta’alaa memerintahkan untuk mengadakan ishlah sebelum memerangi pemebrontak, dengan firman-Nya: “Maka damaikanlah antara keduanya, apabila salah satunya berbuat aniaya terhadap yang lain, maka perangilah golonaga yang berbuat aniaya”. (al Hujurot: 9). Itulah yang diperbuat oleh Ali ra. ketika dia mengutus Ibnu Abbas ra.  kepada pimpinan Khowarij serta mengawasi mereka, maka kembalilah kepada pemerintahan Ali yang saha sebanyak 4000, dan lainnya mempertahankan diri, kemudian mereka itu diperangi oleh Ali ra. (Musnad Ahmad: I/87).
(46)  Di antara perbedaan memerangi pemberontak dengan memerangi orang kafir, bahwa apabila menawan pemberontak, tidak dibunuh, tetapi ditahan sampai mereka mengakhiri pemberontakan mereka. Apanbial mengambil harta mereka, maka tidak dibagi seperti membagi harta  ghonimah (rampasan perang), tetapi harta tersebut disimpan sampai mereka kembali tidak berontak, baru harta tersebut dikembalikan kepada pemiliknya. Apabila mendapati mereka yang terluka, tidak dibiarkan agar segera mati, atau tidak dibunuh sekali, apabila ada oknom yang melarikan diri tidak dikejar. Dasar permasalahan ini adalah hadits riwayat al Baihaqy (VIII/182), dari Abdullah bin Umar ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Wahai Ibnu Mas’ud, tahukan engkau apa hukum Allah tenatng pemberontak di dalam ummat ini? Ibnu Mas’ud emnjawab: Allah dan Rasul-Nya yang athu.  Beliau bersabda: Sesungguhnya hukum Allah terhadap mereka adalah: hendaknya tidak dikejar-kejar orang yang membelakangi mereka (malarikan diri), dan tidak dibunuh tawanan mereka, dan tidak dieprcepat kematiannya bagi mereka yang terluka”, di dalam riwayat alin: “Dan tidak dibagi-bagikan harta faik mereka”. Artinya harta yang mereka rampas dari pemberontak. Hadits riwayat Ibnu Syaibah dengan sanad hasan: Bahwasanya Ali ra. memerintahkan kepada juru bicaranya pada peperangan Jamal, maka juru bicaranya menyerukan: Jangan mengejar mereka yang melarikan diri, jangan membiarkan cepat mati mereka yang terluka, jangan membunuh tawanan, barang siapa yang menutup pintnya, maka dia aman, barang siapa yang meletakkan senjatanya, maka dia aman. (Mughny al Muhtaj: IV/127). Dan diriwayatkan oleh oleh Ibnu Abi Syaibah: Sesungguhnya pasukan penduduk Nahrowan  (Baghdad) meletakkan senjata mereka di padang luas antara rumah-rumah penduduk, barang siapa yang mengetahuinya, hendaklah mengambilnya, sampai selesainya dapatnya dikuasi keadaan, silakan diambil.
(47)  Berdasarkan hadits al Bukhary (2854), dari Ibnu Abbas ra. ia berkata: Nabi saw. bersabda: “Barang siapa mengganti agamanya, maka dia harus dibunuh”. Dan berdasarkan sabda beliau: “Tidak halal darah seorang muslim ……… kecuali sebab salah satu dari tiga:  …… orang yang memisahkan diri dari agamanya, dan meninggalkan agamanya”. Perhatikan CK: no: 28 Kitab Jinayat. Istitabah(permintaan untuk taubat) itu hukumnya wajib, artinya dia dimnita untuk bertaubat dan kembali lagi kepada Islam sebelum dibunuh, berdasarkan hadits riwayat ad Daroquthny (III/118), dari Jabir ra. bahwasanya seorang wanita namanya Umma Rumman murtad, maka Nabi saw. memerintahkan dia untuk kembali ke Islam, bila dia mau bertaubat, tetapi bila tidak mau, maka dia harus dibunuh. Perintah untuk bertaubat itu diberlakukan selama tiga ahri, diulang-ulang dalam permintaan itu, berdasarkan pernyataan Umar ra.tenatgn seorang yang murtad dibunuh tanpa menunggu tiga hari: Apakah tidak sebaiknya kamu tahan lebih dulu selama tiga hari, dan kamu beri makan dia setiap hari dengan roti, dan kamu minta agar dia bertaubat, mudah-mudahan dia mau bertaubat dan kembali kepada perintah Allah? Kemudian Umar berkata: Yaa Allah, sesungguhnya ketika itu saya tidak ada di tempat, dan saya tidak memerintahkannya, dan saya tidak rela apabila hal itu lebih dahulu disampaikan kepadaku. (Al Muwathok II/737). Mengembalikan dia ke Islam, menurut madzhab as Syafi’ie tidak perlu menunda sampai tiga ahri, berdasarkan dalail di muka, telah diriwayatkan oleh al Bukhary (6525), dan Muslim (1733), hadits tentang perwalian Abu Musa al Asy’ari ra. di Yaman  di dalam ahdits tersebut:  …. Kemudian diikutkan kepada Mu’adz bin Jabal, setelah sampai di tempat maka Abu Musa melemparkan kepadanya sebuah bantal. Lalu ia berkata: Turunlah. Tiba-tiba ada seorang laki-laki di sampingnya yang diikat, Mu’adz bertanya: Apakah ini? Abu Musa berkata: Dia adalah seorang Yahudi yang sudah masuk Islam, lalu menjadi Yahudi lagi. Lalu Abu Musa berkata: duduklah. Lelaki itu berkata: Saya tidak akan duduk sampai dibunuh, sesuai dengan keputusan Allah dan Rasul-Nya, sebanyak tiga kali. Maka Abu Musa memerintahkan agar dia dibunuh.
(48)  Oleh karena dia telah keluar dari golongan Islam, Allah berfirman: “Barang siapa yang murtad dari agamanya, kemudian dia mati, maka dia adalah kafir”. (al Baqoroh: 217).
(49)  Dia diminta untuk bertaubat, sebagi bukti taubatnya dia melakukan sholat yang membuktikan bahwa dia berkeyakinan bahwa sholat itu hukumnya wajib, apabila dia tidak mau bertaubat, maka dibunuh damn dia dalam keadaan kafir, tidak dimandikan, tidak disholati, dan tidak dikubur di pemakaman Islam. Hadits riwayat Muslim (82) dan lainnya, dari Jabir ra. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya perbedaan antara lelaki muslim dengan orang musyrik dan kafir, adalah meninggalkan sholat”. Ini mengandung pengertian bahwa dia meninggalkan sholat karena  menentang dan ingkar atas difardlukannya sholat.
(50)  Atau hukuman atas perbuatannya meninggalkan sesuatu yang fardlu, maka dia dibunuh karenanya. Dalilnya adalah hadits riwayat al Bukhary (25), dan Muslim (22), dari Ibnu Umar ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Saya diperintah untuk memerangi manusia, sampai mereka itu bersyahadat bahwasanya tiada Tuhan selain Allah, dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, medirikan sholat, dan membayar zakat. Apabila mereka melaksanakan hal itu, maka mereka mendapatkan perlindungan dariku darah mereka, harta mereka, kecuali urusan yang menjadi hak Islam, dan hisab mereka pada Allah”. Hadits tersebut sebagai dasar bahwa barang siapa yang mengikrarkan dua syahadat, tetap dibunuh apabila dia tidak mau sholat, tetapi tidak dihukumi sebagai mati kafir, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (1420), dan lainnya, dari Ubadah bin as Shomit ra. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Lima kali sholat diwajibkan oleh Allah kepada semua hamba, barang siapa yang datang membawa sholat, maka tidak akan dipersempit sedikitpun sebagai hak mereka, dia mempunyai janji Allah untuk dimasukkan ke dalam surga, dan barang siapa datang tidak membawanya, maka dia tidak ada di sisi Allah janji, apabila Allah menghendaki dia akan disiksa dan apabila Allah menghendaki dia akan dimasukkan ke dalam surga”. Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan sholat tidak kafir, oleh karena apabila dia kafir, maka tidak termasuk dalam sabda Nabi saw. tersebut: “Apabila Allah mau, maka akan dimasukkan ke dalam surga”, oleh karena kafir tidak akan dimasukkan surga secara pasti. Hadits ini mengandung pengertian bahwa dia meninggalkan sholat karena malas, untuk memadukan antara beberapa dalil.
(51)  Maka jenazahnya dimandikan, disholati, dan dikuburkan di pemakaman Islam, oleh karena dia termasuk muslim.

Tidak ada komentar:
Write komentar