Terjemah Kitab AT-TADZHIB Bab Nikah

 



KITAB NIKAH
DAN HAL-HAL YANG BERSANGKUT PAUT DENGAN NIKAH BAIK HUKUM MAUPUN KETENTUAN LAINNYA.

Nikah itu hukumnya sunnat bagi orang yang sudah membutuhkannya. (1)
Diperbolehkan bagi lelaki merdeka mengumpulkan empat wanita merdeka sebagai isteri,(2) sedangkan bagi seorang budak laki-laki antara dua wanita.

Tidak boleh seorang yang merdeka menikahi wanita budak, kecuali dengan dua syarat: tidak memiliki harta untuk membiayai wanita meredeka dan takut terjerumus ke dalam kekekjian perzinaan.(3)

Seorang lelaki melihat wanita hukumnya ada tujuh macam:
Pertama: melihat kepada wanita ajnabiyah(bukan mahrom) tanpa adanya keperluan, tidak diperbolehkan.(4)
Kedua: melihat kepada isterinya sendiri atau budak wanaitanya sendiri, diperbolehkan hanya pada selain farji (kemaluan).(5)
Ketiga: Melihat kepada wanita mahromnya, atau wanita budak miliknya yang sudah menjadi isteri orang lain, diperbolehkan pada selain bagian antara pusat dan dua lutut.(6)
Keempat: Melihat karena hendak dinikahinya, maka diperbolehkan pada bagian wajah dan dua telapak tangan.(7)
Kelima: melihat untuk pengobatan, diperbolehkan pada bagian yang diperlukan untuk diobati.(8)
Keenam: Melihat untuk sebagai saksi atau untuk kegiatan sehari-hari (mu’amalah), diperbolehkan hanya terbatas pada bagian wajah saja.(9)
Ketujuh: Melihat kepada wanita budak ketika terjadinya transaksi jual beli, maka yang boleh dilihat hanya bagian tubuh yang diperlukan untuk dibolak-balik (dilihat dari sisi-sisinya).(10)

(Fasal): Tidak shah nikah kecuali ada dengan wali dan dua orang saksi yang adil.(11) Wali dan dua orang saksi nikah memerlukan enam macam syarat: Islam,(12) sudah balgih, berakal sehat, merdeka, laki-laki, adil,(13) kecuali pernikahan seorang kafir dzimmi, dalam pernikahan ini walinya tidak perlu harus bergama Islam, dan begitu pula untuk pernikahan seorang amat (budak wanita) tidak memerlukan keadilan tuannya.
Yang harus diutamakan/prioritaskan sebagai wali adalah: ayah, lalu ayahnya ayah, lalu saudara seayah seibu, lalu saudara seayah, lalu anak laki-laki saudara kaki-laki seayah seibu, lalu anak laki-laki saudara laki-laki seayah, lalu paman, lalu anak laki-laki paman, berdasarkan urutan sebagaimana disebutkan di atas. Apabila tidak didapat ashobah, maka walinya adalah maulal mu’tiq, lalu ashobah maulal mu’tiq, lalu hakim.(14)

Tidak secara terang-terangan melamar wanita yang masih dalam iddah,  tetapi diperbolehkan bila hanya sekedar memberikan isyarat (sindiran) bahwa dia akan melamarnya, dan menikahinya setelah wanita janda tersebut habis masa iddahnya.(15)

Wanita itu ada dua golongan: janda dan perawan. Terhadap wanita perawan, bagi ayah atau kakek untuk ijbar (memaksanya) untuk nikah, sedang terhadap wanita janda, ayah atau kakek tidak boleh menikahkannya kecuali sesudah baligh atau mendapatkan persetujuan yang bersangkutan.(16)

(Fasal): Mahrom menurut nash(17) ada 14 orang: tujuh orang karena hubungan nasab (keturunan) yakni: ibu keatas, anak perempuan ke bawah, saudara perempuan, bibi dari ayah, bibi dari ibu, anak perempuan saudara laki-laki, anak perempuan saudara perempuan.(18) Dua orang disebabkan adanya hubungan persusuan: ibu yang menyusui, sudara perempuan sepersusuan.(19) Empat orang akrena adanya hubungan perkawinan: ibunya isteri, anak perempuan bawaan isteri yang sudah disetubuhi, isterinya ayah, dan isterinya anak laki-laki.(20) Satu wanita sebab berkumpul: yakni saudara perempuan isteri.(21) Dan haram menghimpun dalam perkawainan antara seorang wanita dengan bibinya dari ayah atau bibi dari ibu.(22) Keharaman sebab hubungan persusuan sebagaimana keharaman dalam hubungan nasab.(23)
Wanita menjadi tertolak dengan sebab adanya lima cacat: gila, judzam, barosh, rotqu, dan qoron.(24) Sedangkan seorang pria bisa menajdi tertolak disebabkan lima cacat pula: gila, judzam, barosh, jabbu, dan ‘unah.(25)

(Fasal): Disunnatkan untuk menamakan (menyebutkan) mahar di dalam akad nikah,(26) apabila tidak disebutkan secara pasti, akad nikahnya tetap shah.(27) Maskawin wajib dibayarkan adanya tiga kemungkinan sebab: karena difardlukan oleh suami atas dirinya sendiri, atau difardlukan oleh keputusan hakim, atau sebab dia menyetubuhinya, maka wajib dibayar mahar mitsil (maskawin secara untuh).
Tidak ada ketentuan berapa paling sedikit atau berapa paling banyak ketentuan maskawin.(28) Diperbolehkan memberiakn maskawin dalam bentuk manfaat (jasa) tertentu.(29) Maskawin itu bisa menjadi gugur disebabkan terjadinya perceraian sebelum menyetubuhi isterinya, maka yang wajib hanya seperdua dari yang telah ditentukan.(30)

(Fasal): Walimatul urus (upacara perkawinan) hukumnya sunnat,(31) memenuhi undangan walimatul urus hukumnya wajib,(32) kecuali apabila ada udzur.(33)
(Fasal): Kesamaan dalam pembagian giliran antara isteri yang satu dengan lainnya hukumnya wajib,(34) tidak boleh masuk kerumah yang tidak berhak menerima giliran, tanpa adanay suatu keperluan, apabila hendak bepergian, maka diadakan undian untuk semua isteri, dan keluar bersama isteri yang tepat mendapatkan undian.(35)
Apabila beristerikan yang baru, maka mendapatkan prioritas khusus selama tujuh malam, apabila masih perawan, tetapi bila sudah janda selama tiga malam.(36)

Apabila khawatir isterinya nusyuz (menyeleweng), maka suami harus memberikan nasehat kepaadnya, apabila membangkang hendaklah berpisah tidur, apabila sudah pisah tidur tetap membangkang, maka dipukul,(37) dan gugurlah hak-hak isteri untuk menerima giliran, dan nafkah dari suami karena dia nusyuz.

(Fasal): Khulu’ (thalak tebus) diperbolahkan dalam Islam dengan tebusan tertentu,(38) dan selanjutnya wanita (isteri) berhak atas dirinya sendiri,(39) dan tidak boleh bagi mantan suami untuk merujuk kembali, kecuali dengan nikah baru. Khulu’ itu daapt dijatuhkan pada saat isteri dalam keadaan suci atau haid, dan tholak mempengaruhi terhadap wanita yang melakukan khulu’.(40)

(Fasal): Tholak itu ada dua macam: shorih (dengan ikrar yang jelas) dan kinayah(sindiran):
Adapun yang shorih ada tiga macam lafadh (kosa kata): tholaq (talak/cerai), dan firoq (pisah/cerai), dan saroh (lepas/cerai), dan pada tholak shorih tidak memerlukan adanya niyat.(41)
Sedangkan kinayah (sindiran): semua lafadh (ucapan) yang mengandung pengertia tholak dan atau lainnya, dan dalam hal dibutuhkan adanya niyat dari yang mengucapkannya.(42)
Wanita ada dua kategori:
Pertama: dalam hal perceraian yakni: sunnat dan bid’ah, di mana kondisi wanita masih subur (masih bisa haid). Adapun perceraian yang sunnah: apabila talak dijatuhkan ketika wanita dalam keadaan suci dan belum disetubuhi selama suci tersebtu, sedangkan yang bid’ah: apabila tholak dijatuhkan pada saat wanita sedang haid, atau dalam keadaan suci tetapi sudah disetubuhi dalam saat suci tersebut.(43)
Kedua: dalam hal perceraian tidak terdapat istilah sunnah atau bid’ah, yakni ada empat macam wanita: masih kecil, wanita sudah tua yang sudah tidak haid lagi, hamil, dan perceraian dengan cara khulu’ (talak tebus) ayng belum disetubuhi pada saat suci.

(Fasal): Bagi orang merdeka mempunyai hak tholak tiga kali,(44) sedang bagi budak hanya dua kali tholak.(45)
Hshah hukumnya adanya pengecualian di dalam kalimat tholak asalkan kalimat tersebut bersambung,(46) dan shah pula apabila tohlak itu digantungkan dengan suatu sifat atau syarat tertentu.(47)

Tholak tidak akan jatuh sebelum pernikahan,(48) dan ada empat orang ayng tidak bisa jatuh tholaknya: anak-anak, orang gila, orang sedang tidur, dana orang yang dipaksa pihak lain.(49)

(Fasal): Apabila seorang menceraikan isterinya dengan talak satu atau dua, maka dia masih berhak untuk rujuk kembali selama belum habis masa iddahnya,(50) apabila iddahnya sudah ahbis, dihalalkan untuk menikahinya kembali dengan akad nikah yang baru, dan padanya berlaku sisa tholak yang masih ada.(51)
Apabila menceraikan isterinya dengan talak tiga, maka tidak halal bagi manta suami, kecuali adanya lima macam syarat: iddahnya sudah habis, sudah pernah menikah dengan lelaki lain, dan sudah disetubuhi oleh suami kedua dan mengenainya,(52) sudah dicerai oleh suami kedua,(53) dan sudah habis iddahnya dari suami kedua.

(Fasal): Apabila seorang suami bersumpah untuk tidak menyetubuhi isterinya secara mutlak, atau dalam waktu lebih dari empat bulan lamanya, maka berarti dia melakukan sumpah ilak. Apabila terjadi demikian, maka ditunggu selama empat bulan lamanya. setelah itu dia disuruh memilih antara: (a) kembali (mencabut sumpahnya) dengan membayar kafarat (denda sumpah), atau (b) bercerai.(54) Apabila dia tidak mau menceraikan isterinya, maka dia diceraikan dengan isterinya oleh hakim.(55)

(Fasal): Dhihar: apabila suami menyatakan kepada isterinay: “Engkau seperti punggung ibuku”.(56) Apabila suami menyatakan demikian dan dia tidak menindak lanjuti dengan perceraian, berarti dia menarik kembali sumpahnya,(57) dan dia wajib membayar kafarat.
Adapun kafarat dhihar adalah: memerdekakan waniat budak yang mukminah, tanpa cacat yang mengganggu aktivitas dan kerjanya, apabila tidak mendapataknya, maka dia wajib berpausa selama dua bulan berturut-turut, apabila tidak mampu, maka dia wajib memberi makanan kepada 60 orang miskin, setiap orang sebanyak satu mud (bahan makanan). Tidak halal bagi suami yang mendhihar isterinya melakukan persetubuhan dengan siterinya tersebut sampai dia membayar kafarat.(58)

(Fasal): Apabila seorang suami menuduh isterinya berzina, maka dia mendapatkan hukuman tuduhan, kecuali bila dia mampu mengemukakan bukti-bukti atau berani mengucapkan sumpah (li’an),(59) dia mengucapkan di depan hakim, di atas mimbar sebuah masjid jamik, di tengah kumpulan orang banyak:(60)Aku bersaksi di hadapan Allah, bahwa saya adalah di pihak yang benar, tentang tuduhan saya terhadap isteri saya “si Fulanah” berbuat zina, dan anak yang akn dilahirkan adalah anak zina, bukan dariku”, sebanyak empat kali, setelah mendapatkan pengarahan atau wejangan dari hakim: maka sebagai ucapan yang kelima: “Dan semoga laknat Allah menimpa saya apabila saya berbohong”.(61) Dan akibat dari sumpah li’an oleh suami ada lima macam hukum: terbebas dari hukuman tuduhan, hukuman wajib dijatuhkan kepada yang tertuduh, hilangnya hak tidur bersama, penafian anak bagi suami, dan haram berhubungan suami isteri selamanya.(62)
Hukuman bisa gugur atas isteri (tertuduh) dengan cara  bersumpah li’an, dengan ucapan: “Aku bersaksi kepada Allah, bahwa si Fulan (suami) ini adalah berdusta, terhadap tuduhan bahwa saya berzina”, sebanyak empat kali, setelah mendapatkan nasehat dari hakim, dia mengucapkan sumpah yang kelima dengan ucapan: “Murka Allah akan menimpaku, bila dia (suami) benar”.(63)

(Fasal): Wanita yang dalam keadaan iddah itu ada dua macam: karena ditinggal mati suaminya, dan bukan karena ditinggal mati suaminya.
Karena ditinggal mati suaminya: apabila dalam keadaan hamil, maka iddahnya sampai dia melahirkan kandungannya,(64) apabila wanita tersebut tidak hamil, maka iddahnya selama empat bulan sepuluh hari.(65)
Adapun yang bukan karena kematian suaminya:(66) apabila dalam keadaan hamil, maka iddahnya sampai melahirkan kandungannya,(67) apabila tidak hamil – bagi mereka yang masih haid – maka iddahnya selama tiga kali suci,(68) dan itu sangat jelas, apabila wanita masih kecil atau sudah tidak haid lagi, maka iddahnya selama tiga bulan. (69)
Wanita yang diceraikan suaminya sebelum disetubuhinya, maka tidak ada waktu iddah atasnya.(70)
Iddah bagi amat(budak wanita), apabila dalam keadan hamil iddahnya sampai dia melahirkan kandungannya, apabila menggunakan ukuran “aqrok” (berapa kali suci), maka iddahnya dua kali suci,(71) apabila menggunakan hitungan bulan, apabila karena kamatian suaminya, iddahnay dua bulan lima hari, dan apaila karena ditholak (dicerai), maka iddahnya dua setengah bulan,(72) apabila iddahnya diperpanjang menjadi dua bulan lebih baik.(73)

(Fasal): Wajib bagi mantan suami terhadap wanita (mantan isteri) yang masih dalam iddah untuk memberikan perumahan dan nafkah, dan wajib bagi suami terhadap mantan isteri yang sudah ditalak tiga memberikan perumahan tanpa nafkah, kecuali bila mantan isteri tersebut dalam keadaan hamil.(74)

Wajib bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya untuk ihdaad, yakni menahan diri dari berhias dan memakai wewangian (bermake up).(75) Dan bagi wanita yang ditinggal mati suaminya diharuskan tetap tinggal dalam rumah kecuali apabila ada keperluan penting.(76)

(Fasal); Barang siapa yang memiliki amat (budak wanita) yang baru, diharamkan baginya untuk bermesraan dengannya sampai betul-bertul dia bebas: apabila dia masih bisa haid supaya ditunggu sesudah haid satu kali, apabila dia waniat yang iddahnya dihitung dengan bulan, maka cukup ditunggu sampai satu bulan saja, apabila dia wanita yang sedang hamil, ditunggu sampai dia melahirkan kandungannya.(77)

Apabila tuan dari ummil walad, maka dia harus membebaskan dirinya sebagaimana amat.(78)
(Fasal): Apabila seorang wanita menyusui anak laki-laki dengan air susunya, maka anak tersebut menjadi anak susuan bagi wnita menyusuinya dengan dua syarat: pertama: anak dimaksud umurnya di bawah dua tahun,(79) kedua: dia menyusuinya sebanyak lima kali secara terpisah,(80) dan jadilah suami dari wanita yang menyusi menjadi ayah bayi yang disusuinya.(81
Diharamkan orang yang disusui menikahi wanita yang telah menyusui dirinya, dan haram pula orang yang dinasabkan kepadanya,(82) dan diharamkan atas wanita yang menyusui kepada yang disusui dan anak dari lelaki yang disusuinya,(83) tidak termasuk orang yang setingkat dengannya,(84) atau tingkat yang lebih tinggi dari padanya.(85)

(Fasal): Nafkah terhadap pangkal pokok keluarga hukumnya wajib untuk kedua orang ibu bapak,(86) dan anak-anaknya.(87)
Adapun terhadap dua orang tua: wajib untuk diberi nafkah dengan dua syarat: karena fakir dalam keadaan cacat, atau fakir dalam keadaan gila. Sedangkan untuk anak-anak: wajib diberi nafkah dengan tiag syarat: fakir dalam keadaan masih kecil, fakir dalam keadaan cacat, dan fakir dalam keadaan gila.
Nafkah bagi budak, dan hewan piaraan hukumnya wajib, dan tidak diperbolehkan memberikan beban tugas yang di luar kemampuannya.(88)
Memberi nafkah kepada isteri demi kesehatan dirinya adalah wajib,(89) dengan pertimbangan sebagai berikut: apabila suami kondisinya mampu, maka jatahnya dua mud bahan makanan pokok yang dkonsumsi amsyarakata setempat,_90) wajib memberikan bahan lauk pauk dan pakaian yang berlaku bagi adat kebiasan, apabila suami dalam kondisi kurang mampu, maka cukup satu mud dari bahan makanan pokok masyarakat umum, dan yang biasa dikonsumsi dan ditempati oleh masyarakat kurang mampu. Apabila kondisi suami cukupan, maka satu setengah mud, dan dengan lauk pauk serta perumahan yang kelas menengah.(91)
Apabial seorang yang melayani dirinya sesuai dengan ketentuan, maka wajib mendapatkan imbalan sesuai dengan pelayanannya.(92)
Apabila seorang suami tidak mampu meberikan nafkah kepada isterinya, maka isteri berhak melakukan fasah (pemabatalan) nikahnya,(93) demikian pula bila suami tidak mampu membayar maskawin sebelum menyetubuhi isterinya.

(Fasal): Apabila seorang suami meceraikan isterinya dan dia mempunyai anak (masih kecil), maka isteri lebih memiliki hak asuh terhadap anaknya sampai umur tujuh tahun,(94) lalu ia disuruh memilih antara kedua orang tuanya, dan dia harus diserahkan kepada siapa yang dipilihnya.(95)
Persyaratan hadlonah (hak asuh) ada tujuh: berakal sehat, merdeka, beragama Islam,(96) perwira (terhormat), terpercaya, bertanggung jawab, dan tidak mempunyai suami,(97)



(1)  Dalil yang menunjukkan demikian adalah ayat-ayat al Qur’an, antara lain: firman Allah Ta’alaa: “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak nikah, dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya”. (an Nuur:32). Dan banyak hadits Nabi saw. antara lain: hadits riwayat al Bukahry (4779), dan Muslim (1400), dari Abdullah bin Mas’ud ra. ia berkata: Kami bersama Nabi saw. sebagai pemuda yang tidak memiliki apa-apa. Maka Rasulullah saw. bersabda kepada kami: “Wahai anak muda, barang siapa yang sudah mampu membina rumah tangga, maka hendaklah segera kawin, karena yang demikian itu akan menutup pandangan mata, dan terpeliharanya farji, barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa, sesungguhnya dengan berpuasa itu sebagai peredam gejolak syahwat”.
(2)  Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Maka nikahilah wanita-wanita yang kamu sukai: dua, atau tiga atau empat”. (an Nisak:3). Dan hadits riwayat Abu Dawud (2241) dan lainnya, dari Wahbin al Asadie ra. ia berkata: Saya telah masuk agama Islam dan saya mempunyai delapan orang isteri, maka saya ceritakan hal itu kepada Nabi saw., maka  Nabi saw. bersabda: “Pilihlah empat orang dari mereka”.
(3)  Dalil yang menunjukan demikian adalah firman Allah Ta’alaa: “Dan barang siapa di natar kamu yang tidak cukup belanja (mampu) untuk mengawaini wanita merdeka yang beriman, ia boleh mengawini wanita budak ayng beriman, dari budak-budak yang kamu miliki”. (an Niasak: 25).
(4)  Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Katakanlah kepada orang mukmin laki-laki hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian adalah lebih baik bagi mereka”. (an Nuur: 30).
(5)  Adapun farji hukumnya makruh untuk dilihat, tanpa adanya suatu keperluan, oleh karena bertentangan dengan sopan santun. Dan telah diriwayatkan dari A’isyah ra. bahwa dia berkata: Saya tidak pernah melihat dari beliau dan beliau tidak pernah melihat dariku.
(6)  Berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah memperlihatkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau anak-anak mereka, anak-anak suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau anak saudara perempuan mereka”. (an Nuur:31). Dan hadits riwayat Abu Dawud (4113), dari Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ra. dari Nabi saw.beliau bersabda: “Apabial seorang di antara kamu menikahkan budakmu dengan budak wanita miliknya, maka janganlah melihat kepada aurat wanita budak tersebut”. Dalam salah satu riwayat: “Maka janganlah melihat ke bagian di bawah pusat dan di atas  lutut”.
(7)  Hadits riwayat al Bukahry (4833), dan Muslim (1425), dari Sahal bin Sa’ad ra., bahwasanya ada seorang wanita datang kepada Rasulullah saw. dan berkata: Wahai Rasulullah, saya datang untuk menyerahkan diriku kepada tuan, maka Rasulullah saw. melihat kepada wanita tersebut, lalu melihat ke arah bagian atas serta memastikan pendangan beliau, lalu beliau menundukkan kepala. Pengertian memastikan pandangan: beliau melihat ke bagian atas dan bawah serta mempertimbangkannya. Hadits riwayat Muslim (1424), dari Abi Hurairoh ra. ia berkata: Saya di dekat Nabi saw. kemudian datang seorang laki-laki kepada beliau, dia memberitahukan bahwa menikahi seorang wanita dari kaum Anshor, maka Rasulullah saw. bersabda kepadanya: “Apakah engkau sudah melihat dia?” Ia menjawab: Belum.  Beliau bersabda: “Pergilah dan lihatlah dia, sesungguhnya di mata kaum Anshor ada sesuatu”. Artinya berbeda dengan mata orang lainnya, boleh jadi tidak menarik bagimu. Dan ahdits riwayat at Tirmidzy (1187), dinyatakan hasan, dari al Mughiroh  bin Syu’bah ra., bahwa dia telah melamar seorang wanita, maka Nabi saw. bersabda kepadanya: “Lihatlah dia, sesungguhnya lebih pantas untuk diajak makan roti bersama antara kamu berdua”. Artinya dia lebih tepat untuk menumbuhkan saling cinta, saling sepakat dan saling menjaga kelangsungan perkawinan. Hadits-hadits ini mengandung pengertian dieprbolehkannya melihat wajah dan dua telapak tangan, oleh karena tidak diperlukan untuk melihat bagian tubuh yang lain.
(8)  Hadits riwayat Muslim (2206), dari Jabir ra. bahwasanya Ummi Salamah ra. meminta izin Rasulullah saw.untuk berbekam (cantuk Jawa), maka Nabi saw. memerintahkan Abu Thoibah untuk mebekamnya. Dipersyaratkan pelaksanaan pengobatan harus ditunggui oleh mahrom atau suaminya, dan tidak ada wanita yang berprofesei sebagai tukang bekam, dan apabila masih didapatkan tukang bekam dari kalangan Islam, janganlah mencari di luar Islam.
(9)  Apabila ada keperlkuan untuk mengetahui wanita tertentu, danorang  tidak akan tahu keculai dengan melihat padanya.
(10)  Selain bagian antara pust dan lutut, karena tidak boleh melihat bagian tersebut.
(11)  Berdasarkan sabda Nabi saw. Tidak shah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil, dan apabila ada nikah yang tidak dilakukan seperti itu, maka nikahnya batal”, diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (1247), ia menyatakan: Tidak shah dalam hal menjelaskan dua saksi selain yang bersangkutan. Hadits riwayat Abu Dawud (2085), dan at Tirmidzy (1101), dari abi Musa al Asy’arie ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Tidk shah nikah kecuali dengan wali”. Dan hadits riwayat ad Daroquthny (III/227), dari Abi Hurairoh ra., bahwasanya Nabi saw.bersabda: “Janganlah seorang wanita menikahkan wanita, dan jangan seorang wanita menikahkan dirinya sendiri”. Kami berpendapat: Wanita yang menikahkan dirinya adalah pezina”.
(12)  Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Orang-orang yang beriman baik laki-laki atau permpuan, sebagian mereka adalah menjadi penolong bagi yang lain”. (at Taubah:71). Tidak dapat diterima persaksian bukan orang Islam terhadap orang Islam.
(13)  Berdasarkan sabda Rasulullah saw.: “Tidak shah nikah, kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil”, diriwayatkan oleh as Syafi’ie rohimahullah di dalam Musnadnya. Imam Ahmad menyatakan: Ini yang paling benar dalam bab ini (al Mughnie al Muhtaj: III/155), dan perhatikan CK. No:11.
(14)  Berdasarkan sabda Rasulullah saw. “Sultan (hakim) sebagai wali bagi orang yang tidak memiliki wali”, diriwayatkan oelh Abu Dawud (2073), dan at tirmidzy (1102), dan lainnya, dari A’isyah ra.
(15)  Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Dan tidaklah berdosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan keinginanmu dia dalam hatimu. Allah Maha Tahu  bahwa kamu akan senantiasa menyebut mereka, dalam pada itu janganlah mengadakan janji untuk kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan perkataan yang baik. Dan janganlah kamu berazam untuk melakukan akad nikah, sebelum habis iddahnya”. (al Baqoroh:235). Pengertian berazam menikah: memastikan niyat untuk mengikat perkawinan. Haits riwayat Muslim (1480), bahwasanya Fathimah binti Qois dithlak (dicerai) oleh suaminya dengan talak tiga. Maka Nabi saw. bersabda kepadanya:  “Apabila engkau sudah halal (selesai iddah) beritahulah saya”.
(16)  Hadits riwayat Muslim (1421), dari Ibnu Abbas ra., bahwasanya Nabi saw.bersabda: “Wanita janda lebih berhak terhadap dirinya sendiri dari pada walinya, sedang wanita perawan hendaknya dimintai izin, dan izinnya adalah diamnya”, dalam satu riwayat: “Izinnya adalah diam dirinya”. Memusyawarakan kepada wanita perawan tidak wajib.
(17)  Yakni berdasarkan nash al Qur’an, surat an Nisak: 22 – 23, akan dijelaskan secara terperinci di tempatnya.
(18)  Allah berfirman: “Diharamkan bagimu (mengawini) ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara perempuanmu, saudara perempuan bapakmu, sudara perempuan ibumu, anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak perempuan dari saudara perempuanmu”. (an Nisak:23).
(19)  Friam Allah Ta’alaa: “Dan (diharamkan untuk dinakahi) ibu yang menyusukan kamu, dan saudara perempuan sepersusuan”. (an Nisak: 23).
(20)  Tetapnya keharaman isteri ayah adalah berdasarkan firman Allah ta’alaa: “Janganlah kamu menikahi wanita yang telah dinikahi ayahmu”. (an Nisak: 22). Sedangkan keharaman yang lainnya, adalah berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Dan ibu isterimu, anak perempuan dari isteri kamu yang sudah kamu cerai sesudah kamu setubuhinya, dan apabila sudah kamu cerai dan belum kamu setubuhinya, maka tidak berdosa bagi kamu untuk mengawininya, dan isteri dari anak kandungmu sendiri”. (an Niasak: 23).
(21)  Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Dan diharamkan bagimu menghimpun dalam perkawinan dua perempuan bersaudara, kecuali perbutan yang telah lampau”. (anNiasak: 23).
(22)  Hadits riwayat al Bukahry (4820) dan Muslim (1408), dari Abi Hurairoh ra. Rasulullah saw. bersabda: Tidak boleh mengumpulkan dalam perkawinan antara wanita dengan bibi dari ayah, dan antara wanita dengan bibi dari ibu”.
(23)  Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya hubungan persusuan diharamkan seperti keharaman dari hubungan keturunan”. Dala riwayat al Bukhary (2502), dan Muslim (1447), dari Ibnu Abbas ra. ia berkata: Nabi saw. bersabda: “Tidak halal saya nikahi, keharaman karena hubungan persusuan, seperti keharaman dalam hubungan nasab, aykni anak perempuan dari saudara spersusuan”.
(24)  Yang dimaksud dengan tertolak, bahwa suami mempunyai hak untuk memilih apakah meneruskan perkawinan atau membatalkannya (fasakh), tanpa berkewajiban membayar mahar ketika itu. Judzam: penyakit yang tampak merah pada jaringan kulit lalu menghitam, dan bisa terlepas anggota tubuh dari badan. (lepra). Barosh: kulit menjadi putih kuat dan hilang pigmennya (bule). Rotqu: farjinya tertutup dengan daging. Qoron: farjinya tertutup dengan tulang. Diriwayatkan bahwasanya Rasulullah saw. menikahi seorang wanita dari suku Ghifar, ketika wanita itu masuk ke ruangan beliau, beliau melihat kulit pinggangnya berwarna putih, maka beliau bersabda: Kenakanlah pakaianmu, dan temuilah keluargamu” dan beliau bersabda kepada keluarganya: “Kamu menyembunyikan cacat dari padaku”, hadits riwayat al Baihaqy (VII/214) dari Ibnu Umar ra.  Hadits ini diperkuat dengan hadits riwayat Malik di dalam al Muwathok (II/526), dari Umar ra. ia berkata: Lelaki mana saja yang menikhai wanita, ternyata dia gila, atau judzam, atau barosh, - dalam satu riwayat: qoron – lalu disetubhinya, maka wanita tersebut berhak menerima maskawin secara utuh, demikianitu sebagai hutang atas suaminya terhadap walinya.
(25)  Jabbu: dzakarnya putus. Unah: impoten. Bagi isteri berhak memilih apakah tetap melanjutkan perkawinan dengan suami tersebut ataukah membatalkan pernikahannya, dengan catatan agar memastikan selama satu tahun, apabila ternyata selama satu tahun tetap impoten maka secara apsti dai berhak menfasah (membatalkan nikahnya. Oleh karena impotensinya boleh jadi dipengaruhi oleh faktor eksternal. Dan berdasarkan hadits riwayat al Baihaqy (VII/226) dari Umar ra., bahwasanya ada seorang wanita datang kepadanya, dia meberitahukan bahwa suaminya tidak mampu melayaninya, maka dia tunggu sampai satu tahun, setelah ditinggu slama satu tahun juga tetap impoten, maka dia diberi hak memilih, maka umar memisahkan antara keduanya dengan thalak bain (talak tiga).
(26)  Berdasarkan firman Allah Ta’alaa; “Berikanlah maskawin kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian wajib”. (an Nisak: 4). Hadits riwayat al Bukahry (4741), dan Muslim (1425), dari Sahal bin Sa’ad ra. ia berkata: Datang seorang wanita kepada Nabi saw. dan berkata: Sesungguhnya dia telah menyerahkan dirinya kepada Allah dan Rasul-Nya saw. Maka beliau bersabda: “Saya tidak membutuhkan wanita”, maka ada seorang lelaki berkata: Nikahkanlah wanita itu denganku. Beliau bersabda: “Berilah dia baju. Ia menajwab: Saya tidak mempunyainya. Beliau bersabda: “berilah dia sebuah cincin walaupun terbuat dari besi”. Dia juga menyatakan tidak mampu. Maka beliau bersabda: “Apa yang kamu mampui dari al Qur’an”. Dia menjawab: Demikian, demikian … Maka beliau bersabda: “Sungguh aku nikahkan engkau dengan dia dengan maskawin apa yang engkau mampu dari al Qur’an”.
(27)  Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Tidak ada kewajiban membayar maharatasmu apabila kamu menceraikan isteri kamu sebelum kamu bersetubuh dengannya, atau sebelum kamu menentukan maharnya”. (al Baqoroh:236). Telah dijelaskan bahwa nikah tetap shah walaupun belum ditentukan maharnya secara jelas, oleh karena tholak (cerai) itu tidak akan terjadi sebelum shanya akad nikah.
(28)  Hadits riwayat at Tirmidzy (1113), dari Amir bin Robi’ah ra., bahwasanya ada seorang wanita dari Bani Fazaroh menikah dengan maskawin sepasang sendal, maka Rasulullah saw. bertanya: “Apakah engkau rela dalam hatimu dengan maskawin hanya sepasang sendal?”. Dia menajwab: Yaa. Maka nikahnya shah. Perhatikan CK. No:  26 dan 31. Dan firman Allat ta’alaa: “Sedangkan kamu telah memberika kepada salah seorang dari mereka harta yang banya”. (an Nisak: 20). Ini menunjukkan bahwa tidak ada batas banyaknya maskawin. Disunnatkan maskawin itu tidak kurang dari lima dirham, untuk menghindari perbedaan pendapat, sebab ada yang mewajibkan minimal lima dirham, yakni madzhab Hanafie. Dan tidak lebih dari 500 dirham, karena sekian maskawin puteri serta isteri-isteri beliau saw.  Hadits riwayat al Khomsah dan dishohihkan oleh at Tirmidzy (1114), dari Umar ibnul Khothob ra. ia berkata: Janganlah membuat mahal maskawin wanita, sesungguhnya kalau karena demi kehormatan di dunia dan berrtaqwa di akhirat, niscaya yang paling mulya di antara kamu adalah beliau saw.. Rasulullah tidak pernah memberikan maskawin isteri beliau, atau menrerima maskawin untuk puteri beliau, lebih dari 20 auqiyah, satu auqiyah sama dengan (40 dirham), jadi total 480 dirham.
(29)  Seperti jasa emngajarkan ayat-ayat al Qur’an, atau mengerjakan sesuatu pekerjaan tertentu, perhatikan CK. No: 26.
(30)  Firman Allah Ta’alaa: “Jika kamu menceraikan isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kemau sudah menetukan maskawinnya, maka bayarlah seperdua dari maskawin yang telah kamu tentukan itu”. (al Baqoroh:237). Dan maskawin tetap dibayar utuh apabila suami meninggal dunia atau  sudah disetubhui: Dalil yang menunjukkan tetapnya maskawin karena matiadalah hadits riwayat Abu Dawud (2114), dan at Tirmidzy (1145), dinyatakan hasan shohih, dan lainnya, dari Abdullah bin Mas’ud ra. bahwasanya dia ditanya tentang lelaki yang menikahi seorang wanita yang belum ditentukan maskawinnya, dan belum disetubuhinya sampai dia mati? Ibnu Mas’ud menajwab: Dia berhak menerima maskawin sama dengan isteri lainnya, tanpa dikurangi dan didholimi, dan isterinya wajib menjalani iddah dan berhak menrima harta warisannya. Maka Ma’qil bin Sinan al Asyja’ie berdiri dan berkata: Rasulullah saw. menetapkan terhadap Barwa’a binti Wasiq, salah seorang wanita dari kita, seperti yang engkau putuskan, maka senanglah oelh karenanya Ibnu Mas’ud. Kesenangan Ibnu Mas’ud disebabkan bahwa fatwa yang disampaikan sesuai  dengan fatwa yang diberiathukan oleh Ma’qil bin Sinan dari Rasulullah saw. dan ini sebagai tanda adanay taufiq dari Allah ta’alaa. Adapun tetapnya maskawin dengan persetubuhan, adalah firman Allah ta’alaa: “Apabila kamu menceraikan isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maskawinnya, maka bayarlah seperdua dari maskawin yang telah kamu tentukan”. (al Baqoroh:237). Sungguh sebagai dalil bahwa apabila perceraian terjadi sesudah persetubuhan, maka tidak akan gugur sebagian maskawin. Umar ra. berkata: Mana saja lelaki yang menikahi seorang waniat …… lalu dia menyetubuhinya maka wanita tersebut berhak menerima amskawai secara penuh …. Perhatikan CK. No: 24. 
(31)  Hadits riwayat al Bukhary (4860), dan Muslim (1427), dari Annas bin Malik ra., bahwasanya Nabi saw. melihat kepada Abdur Rohman bin Auf mencelup (mewarnai) bajunya. Beliau bertanya: Apakah ini? Ia menjawab: Saya telah menikahi seorang wanita dengan maskawin emas seberat biji kurma. Beliau bersabda: Semoga Allah memberkatimu, dan buatlah walimah walaupun hanya dengan seekor kambing”. Walimah adalah menyediakan makanan serat  mengundang manusia untuk ahdir kepadanya, acara ini pada umunya khusus untuh perkawinan.
(32)  Hadits riwayat al Bukahry (4878), dan Muslim (1429), dari Ibnu Umar ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Apabila kamu diundang ke walimah hendaklah menghadirinya”. Dalam riwayat Muslim (1421): “Barang siapa yang tidak menghadiri undangan, maka sungguh bermaksiyat kepada Allah dan Rasul-Nya”.
(33)   Misalnya: karena didapti adanya kemungkaran yang tidak dapat dirubahnya, yang terjadi di dalam acara akad nikah atau upacaranya, misalnya adanya pengambilan gambar, atau bunyi-bunyian piano dan sebagainya.
(34)  Hadits riwayat Abu Dawud (2133), dan at Tirmidzy (1141) dan lainnya, dari Abi Hurairoh ra., bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa yang mempunyai dua orang isteri, lalu dia hanya memperhatikan salah satunya saja – meurut at Tirmidzy tidak berbuat adil antara keduanya – maka dia datang nanti pada hari qiyamat badannya yang sebelah akan runtuh”. Hadits riwayat Abu Dawud (2134) dan at Tirmidzy (1140), dari A’isyah ra. ia brrkata: Rasulullah saw. membagi giliran terhadap isteri beliau secara adil, dan beliau berdo’a: “Ya Allah, ini adalah pembagianku terhadap apa yang aku miliki, maka janganlah Engkau mencela dalam hal yang aku miliki dan yang tidak aku miliki, kata Abu Dawud: yakni Hati.
(35)  Hadits riwayat al Bukhary (3910), dan Muslim (2770), dari A’isyah ra. bahwasanya dia berkata: Rasulullah saw. apabila hendak bepergian, beliau mengundi antara isteri-isteri beliau, mana yang mendapatkan undian, maka beliau keluar bersamanya.
(36)  Hadits riwayat al Bukhary (4916), dan Muslim (1461), dari Annas ra. ia berkata: menureut sunnah: Apabila menikah dengan perawan maka bermalam selama tujuh malam, lalu membagi gilirannya, apabila menikah dengan janda, maka bermalam tiga malam, lalu membagi gilirannya. Abu Qilabah berkata: Bila aku mau nisacaya aku katakannya. Sesungguhnya Annas ra. menyatakan bahwa hadist ini marfu’ sampai kepada Rasulullah saw.
(37)  Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Wanita yang kamu khawatirkan nusyuz, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka, kemudian apabila mereka taat kepadamu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka”. (an Niasak: 34). Nusyuz adalah bermaksiyat atau melawan suami.
(38)  Berdasarkan firman Allah ta’alaa: “Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka (isteri), kecuali kalau dikhawatirkan keduanya tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Apabila kamu khawatir tidak dapat menjalankan hukum Allah, maka tidak berdosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri guna menebus dirinya”. (al Baqoroh: 229). Hadits riwayat al Bukahry (4971), dari Ibnu Abbas ra. bahwasanya isteri Tsabit bin Qois datang kepaad Nabi saw. dan berkata: Wahai Rasulullah, Tsabit bin Qois, saya tidak keberatan tenatng akhlaknya, atau soal hutang, tetapi saya benci kekufuran di dalam Islam. Maka Nabi saw. bertanya: “Apakah engkau mau mengembalikan kebunnya kepadanya?” Ia menjawab: Ya Nabi. Maka Rasulullah saw. bersabda kepada Tsabit bin Qois: “Terimalah kebun iutu, dan ceraikanlah dia dengan sekali thalak”.
(39)  Artinya suami tidak berhak menguasai isterinya lagi, karena khulu’ itu kedudukannya adalah tholak bain (talak tiga).
(40)  Oleh karena wanita tersebut menjadi wanita ajnabiyahbagi manta suami setelah terjadinya khulu’..
(41)  Karena  dijelaskannya beberapa lafadh tersebut di dalam syari’at Islam, dan berkali kali disebutkan di dalam al Qur’an, yang maksudnya adalah thalak (cerai). Frman Allah ta’alaa:  "يآ أيها النبي إذا طلقتم النساء فطلقوهن لعدتهن"(Wahai Nabi, apabila kamu mentholak (menceraikan) isteri-isteri kamu, maka tholaklah mereka  pada waktu mereka dapat menghadapi iddah mereka secara wajar). (at Tholaq: 1). Dan firman Allah Ta’alaa:أسرّحكنّ سراحا جميلا" (Dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik), (al Ahzab: 28). Dan firman Allah Ta’alaa:   "أو فرقوهن بمعروف"(Aatau lepaskanlah mereka dengan baik) (at Tholaq:2).
(42)  Sebagaimana sabda beliau: “Temuilah/kembalilah kepada keluargamu, engkau sudah bukan wanitaku, dan engkau hanya sekededar hiasan”, apabila kalimat Nabi ini diniyati talak, maka terjadilah talak (cerai), berdasarkan hadits riwayat al Bukahry (4955), dari A’isyah ra. bahwasanya anak perempuan al Jun, ketika dimasukkan ke dalam ruangan Rasulullah saw. dan beliau mendekatinya, wanita itu berkata: Aku berlindung kepada Allah dari padamu. Maka beliuau bersabda: “Engkau telah berlindung kepada Yang Maha Besar, kembalilah kepada keluargamu”. Apabila tidak berniyat  untuk meceraikan, maka tidak jadi cerai, dalil yang menunjukkan demikian adalah hadits riwayat al Bukhary (4152) dan Muslim (2769), hadits tentang keterlambatan Ka’ab bin Malik ra. dari peperangan Tabuk, ia berkata: Setelah berusia 45 tahun wahyu terlambat turun, ketika Rasulullah saw. mendatangi saya beliau bersabda: “Sesungguhnya Rasulullah saw. memerintahkan engkau untuk menjauhkan diri dari siterimu”, maka saya bertanya: Apakah saya harus menceraikannya atau saya harus berbuat apa? Beliau bersabda: “Bahkan jauhilah isterimu dan jangan engaku mendekatinya”. Saya berkata kepada isteriku: Kembalilah kepada keluargamu. Dia berbuat demikian karena merasa takut menentang Rasulullah saw. dan dia tetap mempergaulinya ketika isterinya berada di dekatnya, ketikan turun wahyu lagi, maka kembalilah isterinya kepadanya, dan beliau tidak memerintahkan untuk menceraikannya, atau memperbaharui akad nikahnya. Hal ini menunjukkan, bahwa kalimat: “kembalilah kepada keluargamu”, bukanlah lafadh cerai.
(43)  Dalil yang menunjukkan demikian adalah hadist riwayat al Bukhary (4953), dan Muslim (1471), dari Abdullah bin Umar ra., bahwasanya dia menceraikan isterinya yang sedang haid, pada zaman Rasulullah saw. Kemudian Umar Ibnul Khothob bertanya kepada Rasulullah saw. tenatng hal itu. Maka Rasulullah saw. bersabda: “Perintahkanlah dia merujuk kembali isterinya, lalu mempertahankannya sampai dia suci, lalu haid, lalu suci lagi, bila dia mau pertahankan pernikahan tersebut, dan bila tidak silakan diceraiakan sebelum disetubuhinya. Dan itulah iddah yang dieprintahkan oleh Allah ta’alaa, hila engkau menceraikan isterimu”. Atau berdasarkan firman Allah ta’alaa: “Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan iasterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu di amna dia dapat menghadapi iddahnya secara wajar” (at Tholaq:1). Oleh karena wanita tersebut memulai masa iddahnya pada saat  dia dicerai suaminya, berbeda bila wanita dicerai pada saat haid, dia mulai iddahnya sesudah suci dari haid ayng dialaminya saat itu. Apabila dicerai sesudah distubuhi, maka boleh ajdi dia bisa hamil, dan dia tidak berharap dicerai dalam keadaan hamil, dan itu akan menimbulkan suatu penyesalan di kemudian hari.
(44)  Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Tholak (yang dapat dirujuk) hanya dua kali, setelah itu boleh runjuk kembali secara ma’ruf (baik) atau menceraikannya secara baik”. (al Baqoroh: 229), dan firman Allah ta’alaa: “Apabila ia meceraikannya, maka tidak halal lagi baginya sesudah itu, sampai dia dinikahi oleh orang lain”. (al Baqoroh: 230). Hadits riwayat Abu Dawud (2195), dari Ibnu Abbas ra. ia berkata: “Wanita yang telah dicerai itu harus menunggu iddahnya selama tiga kali suci, tidak halal bagi wanita itu menyembunyikan apa yang telah dijadikan oleh Allah di dalam rahimnya, bila dia benar-benar beriman kepada Allah dan hari Akhir, dan mantan suaminya yang lebih berhak untuk merujuknya dalam masa iddah, apabila mereka benar-benar bermaksud untuk kebaikan”. (al Baqoroh: 228). Ia berkata: Dari ayat ini, menjelaskan bahwa manatan suami berhak merujuk kembali mantan isterinya, walaupun sudah talak tiga, maka hal ini dinasakh (dihapus) dengan ayat yang menyatakan: “Tholak itu ahnya dua kali”.
(45)  Hadits riwayat ad Daroquthny (IV/39), bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “tholak budak itu hanya dua kali”.
(46)  Misalnya suami menaytakan kepada isterinya: “Engkau saya tholak tiga, kecuali dua”, maka ucapan itu shah dan jatuhlah tholak satu kali. Nabi saw. bersabda: “Barang siapa yang memerdekakan budaknya atau mentholak isterinya dan membuat pengecualian, maka baginya sesuai dengan pengecualian tersebut, demikian dijelaksn oleh Ibnu Atsir di dalam kiatb an Nihayah.
(47)  Misal dari menggantungkan dengan sifat: Engkau saya tholak pada bulan ini, atau engkau saya tholak apabila hari ini hujan. Sedangkan contoh menggantungkan kepada syarat: bila suami menyatakan: Apabila engkau masuk rumah, maka engkau saya tholak, maka tholak jatuh ketika isteri memasuki rumah dimaksud. Hal in memperhatikan sabda Nabi saw. : “Orang Islam itu sesuai dengan persyaratannya” (al Hakim II/49).
(48)  Hadits riwayat Abu Dawud (2190), dan at Tirmidzy (1181), di menyatakan: hadits hasan shohih, dari Amru bin Su’aib dari ayahnya, dari kakeknya ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada nadzar bagi anak Adam terhadap sesuatu yang tidak dimiliknya, dan tidak memerdekakan budak yang bukan miliknya, dan tidak ada tholak terhadap wanita yang tidak dimilikinya”. Artinya: terhadap wanita yang tidak ada pemiliknya, dan tidak berhak memiliki terhadap wanita sebelum terjadinya pernikahan. Menurut riwyat al hakim: “Tidak ada tholak sebelum pernikahan terjadi”.
(49)  Berdasarkan hadits:  "رفع القلم عن ثلاث …..", perhatikan CK. No: 10 Kitab Sholat. Dan berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud (2193), dan lainnya, dari A’isyah ra. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Tidak shah tholak, dan tidak shah pemerdekaan budak dalam keadaan dipaksa. Hadits riwayat Ibnu Majah (2045) dengan lafadh:  "إغلاقٍ" dia menafsirkan: “dipaksa”, karena paksaan berarti menutup urusan serta hak-hak pribadi seseorang. Dan berdasarkan sabda Rasulullah saw. : “Sesunngguhnya Allah mengabaikan dari ummatku kesalahannya dan kelupaannya dan hal-hal yang dipaksakan”, HR. Al Hakim, dari Ibnu Abbas ra.
(50)  Berdasarkan firman Allah ta’alaa: “Dan suaminya berhak untuk merujuknya kembali dalam keadaan iddah”. (al Baqoroh: 228).Dan berdasarkan sabda Nabi saw. kepada Umar ra.: “Perintahkanlah agar dia rujuk kembali dengan isterinya”, perhatikan CK. No: 43. Dalam riwayat lain: Abdullah menceraikan isterinya dengan satu kali tholak. Di dalam riwayat Muslim: Ibnu Umar ketika ditanya tentang hal itu, maka dia berkata kepada salah satu dari mereka: Adapun apabila engkau menceraikan isterimu satu kali atau dua kali, maka sesungguhnay rasulullah saw. memerintahkan kepadaku demikian, yakni agar rujuk kembali. Hadits riwayat Abu Dawud (2283), dari Umar ra. , bahwasanya Rasulullah saw. menceraikan Hafshoh, lalu beliau rujuk kembali padanya.
(51)  Diriwayat kan Umar ra., bahwasanya dia ditanya tentang orang yang menceraikan isterinya dengan talak dua dan sudah habis iddahnya, dan wanita itu sudah menikah dengan lelaki lain kemudan bercerai, lalu dinikahi oleh suami yang pertama? Umar menjawab: Dia masih memiliki sisa tholak (satu kali lagi) (al Muwathok: II/586).
(52)  Berdasarkan firman allah Ta’alaaa: “Apabila ia menceraikannya (talak tiga), maka tidak halal baginya sesudah itu sampai dinikahi orang lain, apabila sudah diceraikan lagi dari suami kedua, maka tidak berdosa untuk keduanya  kembali mengikat perkawinan, apabila kedau belah pihak yakin dapat menegakkan hukum Allah”. (al Baqoroh: 230). Dan hadits riwayat al Bukhary (2496) dan Muslim (1433), dari A’isyah ra.: Datang kepada Nabi saw. isteri  Rifa’ah al Quradhie, ia berkata: Saya sebagai isteri Rifa’ah, dia sudah menceraikan saya dengan talak tiga, lalu saya menikah dengan Abdur Rohman ibnuz Zubair, saya bersamanya terasa seperti pinggirnya baju. Beliau bertanya: “Apakah engkau hendak kembali kepada Rifa’ah? Jangan. Sampai engkau menikmati madunya dia, dan dia menikmati madumu. Pengertian pinggir baju di sini adalah sebagai perumpamaan, bahwa Abdur Rohman tidak memiliki kemampuan sebagai lelaki. Menikmati madu sebagai kiasan bahwa hendaknya melakukan persetubuhan walalu sebentar dan sekedar memasukkan dzakar ke dalam farjinya.
(53)  Sudah putus hubungan perkawinannya dengan suami kedua, baik dengan tholak, atau fasah atau karena mati.
(54)  Artinya di diminta untuk menarik sumpahnya, lalu menyetubuhi isterinya dan membayar kafarat sebagai tebusan sumpah, apabila dia tidak mau maka dia harus menceraikan isterinya. Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Kepada orang-orang yang meng-ilak (bersumpah tidak akan menyetubuhinya), diberi tangguh selama empat bulan, kemudian jika mereka kembali, makasesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka ber’azam untuk tholak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (al Baqoroh: 226 –227). Pengertian:  "فاؤوا"artinya: kembali mencabut sumpahnya dan menyetubuhi isterinya. Hadits riwayat Malik di dalam al Muwathok (II/556), dari Ali ra. bahwasanya ia berkata: Apabila seorang lelaki bersumpah tidak menyetubuhi isterinya, belum berarti tholaknya jatuh, sekalipun sudah berjalan selama empat bulan, sampai dia dicegah: mungkin dia menceraikan isterinya, atau mungkin mencabut sumpahnya. Diriwayatkan hadist seperti ini dari Ibnu Umar ra.
(55)  Untuk menghialngkan dlarurat (bahaya) dari sang isteri, dan tidak ada jalan kecuali harus diceraikan oleh pihak yang berwenang.
(56)  Artinya: Engkau haram bagiku untuk saya gauli, seperti keharaman ibuku bagiku untuk saya gauli sebagai suami isteri. Pernyataan demikian ini hukumnya haram berdasarkan kesepakatan ummat Islam. Allah Ta’alaa berfirman: “Orang-orang yang mendhihar isterinya (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) bukanlah isterinya itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang telah melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka telah mengucapkan sesuatu yang mungkar dan dusta, dan sesungguhnya Allah Maha Pnegampun”. (al Mujadalah: 2).                 
(57)  Artinya berlawanan dengan apa yang telah ia ucapkan, yakin: mengharamkan isterinya bagi dirinya, oleh karena mempertahankan isterinya dan tidak menceraikannya berarti berlawanan dengan pengaharaman isterinya baginya.
(58)  Allah Ta’alaa berfirman: “Orang-orang yang mendhihar isterinya (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) bukanlah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu mereka tidak lain adalah wanita yang telah melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka telah mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya allah  Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang mendhihar isteri mereka , kemudain mereka hendak menarik kembali apa ayng telah mereka ucapkan, maka wajib atasnya memerdekakan budak, sebelum kedua suami isteri bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah  Maha Mengtahui apa yang kamu kerjakan. Barang siapa yang tidak mendapatkan budak, maka wajib atasnya berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa untuk berpuasa, maka wajib memberi makan kepada 60 orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan itulah hukum-hukum Allah (yang tidak boleh dilanggar), dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih”. (al Mujadalah: 2 – 4).
(59)  Hadits riwayat al Bukahry (4470), dari Ibnu abbas ra. bahwasanya Hilal bin Ummayah menuduh isterinya di hadapan Nabi saw. berzina dengan Syarik bin Samhak. Maka Nabi saw. bersabda: “Datangkan bukti, atau dicambuk punggungmu” …….. Hilal berkata: Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan benar saya adalah di pihak yang benar. Maka Allah akan menurunkan aap yang bisa menyelamatkan punggungku dari hukuman cambuk. Maka Jibril turun dan menurunkan wahyu kepada Nabi saw. :   "والذين يرمون أزواجهم ….." (an Nuur:6).
(60)  Hadits riwayat al Bukhary (5003), dan Muslim (1492), dari Sahal bin Sa’ad ra.  bahwa ada seorang lelaki dari kaum Anshor datang kepada  Rasulullah saw. dan berkata: Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapat tuan apabila seorang suami melihat isterinay bersama-sama dengan lelaki lain, apakah boleh membunuh laki-laki tersebut, atau apa yang harus ia perbuat? Allah menurunkan wahyu sebagaimana tersebut di dalam al Qur’an tentang urusan orang yang bersumpah li’an. Maka Nabi saw. bersabda: “Allah telah memutuskan tentang engkau dan urusanmu”. Beliau bersabda: Hendaklah keduanya melakukan sumpah li’an di masjid dan saya sebagai saksinya. Di dalam satu riwayat: Agar kedua belah pihak sama-sama bersumpah li’an dan saya bersama manusia banyak  di hadapan Rasulullah saw.  Menurut riwayat Abu Dawud (2250) Sahal berkata: Saya telah datang kepada Rasulullah saw. dan sunnah sudah berjalan, bahwa sesudah sumpah li’an diucapkan: hendaknya hakim memisahkan mereka dari ikatan suami isteri untuk selamanya.
(61)  Allah Ta’alaa berfirman: “Orang-orang yang menuduh isterinya berzina, padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain dirinya sendiri, maka persaksiannya adalah dengan empat kali sumpah dengan nama Allah, sesungguhnya bahwa dia adalah termasuk orang yang benar. Dan sumpah yang kelima: bahwa laknat Allah akan menimpanya, apabila dia termasuk orang-orang yang berdusta”. (an Nuur: 6 – 7). Hadits riwayat al Bukhary (5001), dari Ibnu abbas ra. bahwasanya Hilal bin Umayyah menuduh isterinya berzina, maka dia datang menghadap Nabi dan bersaksi, dan Nabi saw. bersabda: “Allah Maha Tahu bahwa salah satu di antara kamu berdua ada yang berdusta, apakah ada salah seorang dari kamu bertaubat”. Dalam satu riwayat al Bukhary (5006) dari Ibnu Umar ra.”: Beliau mengulangi kalimta tersebut tiga kali, lalu isterinay berdiri dan bersaksi. Hadits riwayat Abu Dawud (2263) dan lainnya dari Abi Hurairoh ra. bahwa dia mendengar Rasululah saw. bersabda pada saat turunnya ayat tentang sumpah li’an: “Siapapun wanita yang memasuki suatu kaum di mana wanita itu bukan termasuk dalam kaum itu, maka dai tidak mendapat apa-apa dari Allah, dan Allah tidak akan memasukkanya ke dalam surga-Nya Allah. Dan siapapun lelaki mengingkari  anaknya padahal ia tahu (bahwa ia adalah anaknya), maka Allah akan menutup dia dari padanya, dan Allah akan membuka aibnya kepada setiap kepala manusia sejak awal sampai akhir zaman.
(62)  Hadits riwayat al Bukhary (5009), dan Muslim (1494), dari Ibnu Umar ra., bahwasanya Nabi saw. menyumpah li’an kepada seorang lelaki dengan isterinya, menafikan hubungan nasab dengan suami terhadap anak yang akan dilahirkan, memisahkan hubungan mereka, dan menjadikan nasab bayi yang akan dilahirkan hanya kepada wanita yang melahirkannya. Dalam hadits riwayat al Bukahry (5006) Nabi saw. bersabda kepada keduanya: Hisab kalian berdua di tangan Allah, salah seorang dari kamu berdusta, tidak ada jalan bagi kamu untuk mengikat hubungan suami isteri dengannya lagi. Artinya: Tidak ada hak bagi untuk rujuk kembali dan beretmu antara kalian berdua, sekalipun dengan akad nikah baru. Perhatikan CK. No: 61.
(63)  Firman Allah Ta’alaa: “Isterinya itu terhindar dari hukuman dengan sumpah empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suaminya termasuk orang-orang yang berdusta. Dan sumpah yang kelima: bahwa la’nat Allah akan menimpanya, jika suaminya termasuk orang-orang yang benar”. (an Nuur: 8 –9). Menurut riawayat Muslim (1493): “Kemudian beliau memanggilnya dan menasehati serta memperingatkannya, dan memberitahukan kepadanya, bahwa siksa dunia lebih ringan dibandingkan dengan siksa di akhirat”.
(64)  Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai melahirkan kandungan mereka”. (at Tholaq: 4). Hadits riwayat al Bukahry (5014), dari al Miswar bin Makhromah ra. Bahwasanya Subai’ah al Asalamah melahirkan semalam setelah suaminya meninggal dunia, dia datang kepada Nabi saw. untuk meminta izin menikah lagi, maka beliau mengizinkannya, maka dia menikah.
(65)  Berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Orang-orang ayng meninggal dunia dan meninggalkan isteri, maka hendaklah isteri-isteri itu menjaga diri (beriddah) selama empat bulan sepuluh hari. Apabila sudah sampai batas iddahnya, maak tidak berdosa atas kamu terhadap apa yang mereka lakukan utnuk dirinya sendiri secara baik, dan Allah Maha Tahu apa yang kamu kerjakan”. ‎(al Baqoroh:234). Pengertian terhadap yang mereka lakukan: untuk berhias diri, bertatap muka untuk berbicara, atau menikah, dan sebagainya.
(66)  Misalnya bercerai dengan suaminya sebab li’an, atau fasakh, setelah disetubuhi, dan sebagainya.
(67)  Perhatikan CK. No: 64.
(68)  Berdasarkan firman alah ta’alaa: “Wanita-wanita yang dicerai, hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quruk (haid/suci), dan tidak halal bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan oleh Allah dalam rahimnya, apabila mereka beriman kepada Allah dan hari akhir”. (al Baqoroh: 228). Pengertian “quruk” adalah satuan waktu antara dua haid, dan secara mutlak diartikan dengan waktu haid.
(69)  Al – ayisah: wanita yang sudah tua yang sudah terputus dari haid, dan susah untuk mengembalikan lagi ke masa sebelumnya. Firman Allah Ta’alaa: “Dan wanita-wanita yang putus haid, jika kamu ragu tentang masa iddah mereka, maka iddah mereka adalah tiga bulan, dan begitu pula bagi wanita yang tidak haid”. (at Tholaq: 4).
(70)  Berdasarkan firman Allah ta’alaa; “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu setubuhinya,maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang akmu minta untuk menyempurnakannya, maka berilah mereka itu mut’ah (hadiah) dan lepaskanlah mereka dengan baik”. (al Ahzab: 49).
(71)  Berdasarkan pernyataan Umar dan anaknya ra.: Diperhitungkan iddah amat dua kali suci/haid, dan pendapat ini tidak ada ayng menolaknya dari kalangan sahabat, maka pendapat  Umar ini menjadi ijmak ulama’. Karena budak itu hanya separoh dari wanita merdeka dalam banyak hukum Islam. Dan diqiyaskan kepada budak laki-laki, dalam hal hak tholak terhadap isterinya hanya dua kali. (Nihayah).
(72) Diqiyaskan kepada yang menggunakan hitungan aqrok, dalam hal setengah dari wanita merdeka.
(73)  Oleh karena bulan itu pengganti dari aqrok, dan bagi wanita merdeka dibuat tiga bulan sebagai ganti tiga kali suci, demikian pula yang lebih baik bagi amat bila dihitung iddahnya dua bulan sebagai penganti dua kali suci/haid.
(74)  Maka wajib diberi nafkah, berdasarkan firman Allah Ta’alaa: “Tempatkanlah mantan isteri kamu di mana sesuai dengan kemampuanmu, dan janganlah kamu menyusahkan mereka  untuk mempersempit mereka, apabila mereka sedang dalam keadaan hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkah hidupnya hingga mereka melahirkan kandungannya. Apabila mereka menyusui anak-anak kamu untukmu, maka berilah upahnya, dan musayawarahkanlah antara kamu segala sesuatu dengan baik. Dan jika kamu menemui kesulitan dalam hal penyusuan anak, maka perempuan lain untuk menyusui anakmu itu”. (at Tholaq: 6). Hadits riwayat ad Daroquthny dan an Nasaie (VI/144), tenatng kisah Fathimah binti Qois ra., ketika diceraikan oleh suaminya dengan talak tiga, dia tetap tinggal serumah dengannya, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda kepadanya: “Sesungguhnya nafkah dan perumahan itu hak bagi mantan isteri yang dapat dirujuk kembali”. Dalam riwayat Abu Dawud (2290), beliau bersabda kepadanya: “Tidak ada hak mendapatkan nafkah bagimu, kecuali bila engkau dalam keadaan hamil”.
(75)  Hadits riwayat al Bukahry 95024) dan Muslim (1486, 1489), dari Ummi Habibah ra. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk ihdad (berkabung) atas mayit lebih dari tiga malam, kecuali atas kematian suami, yakni selama empat bulan sepuluh hari”. Dan hadits riwayat al Bukhary (307) dan Muslim (938), dari Ummi Athiyah al Anshory ra. ia berkata: Kami dilarang untuk ihdad terhadap mayit lebih dari tiga hari, kecuali terhadap suami selama empat bulan sepuluh hari, dan kami tidak memakai celak, tidak memakai wewangian, tidak memakai pakaian yang indah-indah, tetapi kami memakai pakaian harian biasa, dan kami diberi keringan pada saat kami bersuci, ketika di antara kami mandi dari haid, dalam hal memotong kuku, dan kami dilarang untuk mengantarkan jenazah.
(76)  Berdasarkan firman Allah ta’alaa: “Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka, dan jangan diizinkan keluar kecuali kalau mereka melakukan perbuatan keji yang terang-terangan. Itulah hukum Allah dan barang siapa melanggar hukum Allah, maka sungguh telah berbuat dholim terhadap dirinya sendiri”. (at Tholaq:1). Hadits riwayat Muslim (1483), dari Jabir ra. ia berkata: Bibi saya diceraikan oleh suaminya, dia bermaksud untuk memotong buah kurmanya, maka ada seorang lelaki yang melarang dia untuk keluar rumah, maka dia datang melapor kepada Nabi saw.  maka beliau bersabda: “Potonglah kurmamu, sesungguhnya mudah-mudahan akan bersedakah dengan kurma itu, atau engkau akan berbuat baik”.
(77)  Dasar masalah ini adalah hadits riwayat Abu dawud (2157), dari Abi Sa’id al Khudzrie ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda dalam hal wanita tawanan perang dari orang kafir di lembah Authos sesudah perang Khunain: “Janganlah disetubuhi wanita budak yang hamil sampai dia melahirkan kandungannya, dan jangan pula terhadap wanita budak yang tidak hamil sampai dia haid satu kali”, dan diqiyaskan selain wanita tawanan perang tersebtu, karena hak kepemilikan.
(78)  Diqiyaskan kepada amat, dan hadits riwayat Malaik (II/592), dari Abdullah bin Umar ra. bahwa dia berkata: Iddah ummil walad, apabila ditinggal mati oleh tuannya adalah satu kali haid. Ummul walad adalah amat  (budak wanita) yang disetubuhi oleh tuannya, lalu dia hamil karenanya dan memberikan anak.
(79)  Hadits riwayat al Bukhary (4814), dari A’isyah ra. bahwasanya Nabi saw.masuk kerumahnya dan di sampingnya ada seorang lelaki, sepertinya beliau berobah air mukanya karena tidak suka terhadap hal itu, maka A’isyah berkaat: Sesungguhnya dia adalah saudara lelakiku. Maka beliau bersabda: “Perhatikanlah saudaramu, sesungguhnya yang disebut saudar rodlo’ah (sepersusuan) karena kelaparan”,  artinya: Diharamkan saudara sepersusuan apabila disusui ketika pada saat manusai sedang lapar untuk menghentikan kelaparan dan mengenyangkannya ketiak disusui, dan hal itu tidak bisa terjadi kecuali ketika anak masih kecil. Hadits riwayat at Tirmidzy (1152), dari Ummi Salamah ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Tidak haram karena sepersusuan, kecuali susu tersebut mengenyangakn bayinya, dan bay tersebut masih saat membutuhkan air susu ibu, dan bayi yang belum waktunya disapih (belum umur dua tahun)”. Firman Allah Ta’alaa: “Dan menyapihnya setelah umur dua tahun” (Luqman: 14). Dan firman Allah Ta’alaa: “Dan bagi kaum ibu wajib menyusui anaknya selama dua tahun penuh, bagi orang yang ingin menyempurkan penyusuan anaknya”. (al baqoroh: 233). Dan hadits riwayat ad Daroquthny (IV/174), Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada rodlo’ah kecuali dia masih dalam usia dua tahun”. Perhatikan CK. No: 19 dan 23.
(80)  Hadits riwayat Muslim (1452), dari A’isyah ra. Pada saat diturunkannya sebagian al Qur’an: sepuluh kali susuan yang ditentukan maka menjadi haram, lalu di nasakh (diganti) menjadi lima kali susuan yang ditentukan, kemudain Rasulullah saw. wafat, dan mereka memberlakukan apa yang dibaca dalam al Qur’an. Artinya apabila hal itu dinasakh, maka datangnya sudah akhir, sampai beliua wafat, dan sebagian manusia tetap berpegang apa yang telah dibaca dalam al Qur’an. Oleh akrena nasakh tersebut belum sampai kepadamereka. Yang dimaksudkan dengan tertentu adalah setiap satu kali menyusui terpisah dengan penyusuan lainnya, yakni terpisah sampai bayi kenyang. Hadits riwayat Muslim (1451), dari Ummi al Fadlel ra, bahwasanya Nabi saw. bersabda: “Tidak menjadi haram apabila hanya satu atau dua kali penyusuan, atau hanya satu atau dua kali isapan”.
(81   Hadits riwayat al Bukhary (4518), Muslim (1445), bahwasanya A’isyah ra. berkata: Aflah meminta izi kepada saya , saudara Abul Qu’ais, sesudah turunnya ayat tenatng hijab, maka saya menjawab: Saya tidak akan mengizinkan padanya sampai dia meminta izin tenatgn hal itu kepada Nabi saw.. Sesungguhnya saudaranya Abul Qu’ais tidak menyusui aku, dan yang menyusui aku adalahisteri Abul Qu’ais. Maka Nabi saw. masuk ke rumah saya dan saya berkata kepada beliau: Wahai Rasulullah, sesungguhnya Aflah, saudara Abul Qu’ais meminta izin, dan saya menolak untuk memberikan izin kepaadnya sampai dia meminta izin kepada tuan. Maka Nabi saw. bersabda: “Apa yang menghalangimu untuk memberi izin pamanmu?”. Saya berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya seorang lelaki tidak menyusui aku, tetapi yang menyusui aku adalah isteri Abul Qu’ais, maka beliau bersabda: “Berilah dia izin, sesungguhnya dia adalah pamanmu, maka tangan kanamu akan diberkati Allah”. Arti dari kata:  "تربت يمينكِ" adalah: “engkau akan menang dan beruntung”, sedangkan arti sebenarnya adalah: “engkau menjadi sulit, dan tanganmu penuh dengan debu”.
(82)  Artinya orang yang dinasabkan kepadanya baik sebagai nasab sesungguhnya atau karena melalui rodlo’ah (penyusuan), seperti anak perempuannya, atau saudara perempuannya dan sebagainya.
(83)  Perhatikan CK. No: 19 dan 23.
(84)  Seperti saudaranya atau anak laki-laki pamannya.
(85)  Seperti ayahnya atau pamannya.
(86)  Berdasarkan firman A;lla Ta’alaa: “Dan pergaulilah kedua orang tuamu di dunia ini dengan baik”, (Lukman: 15), memberikan nafkah kepada keduanya dengan baik pula. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya yang paling baik untuk dimakan oleh seorang lelaki adalah dar hasil karjanya sendiri, dan anak-anaknya dari dari hasil kerjanya sendiri”, diriwayatkan oleh Abu dawud (3528), dan at tirmidzy (1358), dan lainnya, dari A’isayah ra.  Dan dari Abu dawud (3530): “Engkau dan hartamu adalah milik orang tuamu, sesungguhnya anak-anak kamu adalah dari hasil kerjamu yang terbaik, makanlah dari hasil karya anakmu”. Dan hadits riwayat an Nasaie (V/61), dari Thoriq al Muharibie ra. ia berkata: Saya tiba di Madinah, ketika itu Rasulullah saw. sedang berdiri di atas mimbar untuk ebrkhotbah kepada manusia, beliau bersabda: “Tangan pemberi yang di tinggi, dan utamakan orang ayng terdekat, ibumu, ayahmu, saudara perempuanmu, saudara laki-lakimu, lalu yang dekat padamu, dan ayng dekat denganmu”, artinay: kerabatmu. Hadits riwayat Abu Dawud (1540), dari Kulaib bin Manfa’ah dari kakeknya ra. bahwasanya dia datang kepaad Nabi saw. dan berkata: Wahai Rasulullah, siapakah orang di amna aku harus berbuat paling baik? Belaiu menajwab: “Ibumu dan ayahmu, saudara perempuanmu dan saudara laki-lakimu, budakmua yang mengurusi urusanmu, suatu hak dan kewajiban dan kasih sayang yang tak terputus”.
(87)  Allah berfirman: “Dan para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberikan makanan dan pakaian dengan cara yang baik”. (al Baqoroh: 233). Dan firman Allah Ta’alaa: “Dan jika mereka menyusukan anak-anakmu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya”. (at tholaq: 6). Dua ayat tersebut memjelaskan bahwa ayah wajib memberi nafkah kepada wanita yang menyusui anaknya, dan ini sabagai adlil bahwa kewajiban memberikan nafkah kepada anak lebih penting. Hadits riwayat al Bukhary (5049), dan Muslim (1714), dari A’isyah ra. bahwasanya Hindun binti Utbah berkata: Wahai Rasulullah, bahwa Abu Sufyan seorang lelaki yang kikir, dia tidak pernah memberi belanja kepadaku yang dapat mencukupi kebutuhanku dan anak-anakku, kecuali saya harus mengambil dari padanya tanpa dia ketahui, maka beliau bersabda: “Ambillah secukup kebutuhanmu dan anakmu dengan cara yang baik”, artinya: sebagaimana yang diketahui manusia dan dengan nafkah yang sesuai dengan kamu, dengan menyesuaikan kondisi suami tidak boros dan kikir.
(88)  Hadits riwayat Muslim (1662), dari Abi Hurairoh ra., bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Bagi budak mempunyai ahk untuk mendapatkan makanan dan pakaian, dan tidak dibebani pekerjaan, kecuali seuai dengan kekuatannya”. Hadits riwayat al Bukahry (30), dan Muslim (1661), dari Abi Dzar ra., Rasulullah saw. bersabda: “Saudaramu, pamanmu, yang ditakdirkan oleh Allah berada  di abwah atnganmu, barang siapa yang saudaranya berada di bawah tangannya, hendaklah memberinya makan sama dengan apa yang ia makan, dan memberinya pakaian seperti yang ia pakai, dan janganlah membebani mereka pekerjaan yang membuat dia lemah dan tidak kuat, apabila kamu membebani tugas berat, hendaklah pastikan bahwa mereka mampu”. Hadits riwayat al Bukahry (3295), dan Muslim 2242), dari Ibnu Umar ra., bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Disiksa seorang wanita disebabkan oleh seekor kucing, dia mengurungnya sampai mati, maka dia akan diamsukkan ke dalam neraka, dia tidak memberinya makan dan minuman, ketika dia mengurungnya, dan tidak juga membiarkan dia memakan seranga bumi”. Ini menunjukkan atas wajibnya memberi nafkah kepada hewan yang dikurung, termasuk bila memberi pekerjaan budak mereka itu sibuk untuk melakukan demi kabaikan tuannya.
(89)  Firman Allah ta’alaa: “Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena kaum lelaki telah menafkahkan harta mereka”. (an Nisak: 34). Ayat ini menjelaskan bahwa suami dituntut untuk memberi nafkah isteri. Dalam hadits Jabir ra. yang diriwayatkan oleh Msulim (1218): “Takutlah kepada Allah tentang wanita, sesungguhnya kamu mengambilnya berdasarkan amanat dair Allah, dan dihalalkan bagimu farjinya dengan kalimat Allah, hak kamu terhadap mereka agar tidak akan ditiduri tempat tidur kamu oleh lelaki yang kamu benci, apabila isteri berbuat demikian, maak pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti pisik, dan kewajiban kamu untuk meberi rizki mereka dan pakaian mereka dengan cara yang baik, dan saya telah meninggalkan untuk kamu sesuatu yang kamu tidak akan sesat sesudahnya apabila kamu berpegang teguh dengannya: yakni Kitabullah”. Di natra perbuatan yang baik adalah memberikan makanan yang dimakan oleh masyarakat yang sebanding dengannya dari penduduk setempat, dam memberi pakaian yang biasa diapkai oleh masyarakat setempat. Perhatikan CK. No: 87.
_90)  Artinya bahan makanan yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat setempat.
(91)  Firman Allah Ta’alaa: “Hendaklah orang yang mampu meberikan nafkah menurut kemapuannya. Dan orang ayng disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dengan ahrta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepaadnya. Kelak Allah akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. (at Tholaq: 7). Hadits riwayat Abu Dawud (2144), dari Mu’awiyah al Qusyairie ra. ia berkata: Saya datang menghadap Rasulullah saw. dan saya menyampaikan apa ayng dikatakan oleh isteri-isteri kami, beliau bersabda: “Berilah makanan dari apa yang kamu makan, dan berilah pakaian dari apa yang kamu pakai, janganlah kamu memukulnya dan janganlah kamu menjelek-jelekkannya”. Ini untuk diketahui kejadian besar dalam hal batasan-batasan nafkah sesuai dengan zaman, tempat, dan kondisi, dan kesemuanya ini bila suami tidak dalam keadaan miskin dan isteri amkan bersamanya, apabila demikian (suami miskin) maka gugurlah kewajiban memberi nafkah, perhatikan CK. No: 87 dan 90.
(92)  Apabila ia memintanya demikian, sesungguhnya terhapa keluarga harus berbuat dengan baik.
(93)  Hadits riwayat ad Daroquthny (III/297), dari Abi Hurairoh ra., bahwasanya Nabi saw. bersabda: tentang suami yang tidak memiliki kemampuan memberi nafkah kepada siterinya: “Diceraikan antara keduanya”.
(94)  Hadits riwayat Abu Dawud (2276) dan lainnya, dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya ra., bahwasanya Rasulullah saw. didatangi oleh seorang wanita lalu ia berkata: Wahai Rasulullah, Sesungguhnya anaku ini, perutku sebagai wadahnya, payudaraku sebagai sumber minumannya, kamar tidurku yang melindunginya, dan sesungguhnya ayahnya telah menceraikanku, dan dia bermaksud untuk mencabutnya dari asuhanku. Maka Rasulullah saw. bersabda kepadanya: “Engkau lebih berhak terhadapnya, selama engkau belum menikah kembali”.
(95)  Hadits riwayat at Tirmidzy (1357), dan lainnya, dari Abi Hurairoh ra., bahwasanya Nabi saw. memberikan hak pilih kepada seorang anak antara ayah atau ibunya. Dan di dalam satu riwayat Abu Dawud (2277) dan lainnya, bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullh saw. dan berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya suamiku ingin pergi bersama anakku, sungguh dia telah memberi minum kepadaku dari sumur Abi Inabah, dan telah memberikan manfaat kepadaku. Maka Rasulullah saw. bersabda: “Undilah antara kamu berdua terhadap dia”. Maka suaminya berkata: Siapakah yang memberikan hak padaku terhadap anakku? Maka Nabi saw. bersabda: “Ini ayahmu, dan ini ibumu, maka peganglah tangan siapa yang engkau kehendaki (pilih)”. Maka anak tersebut memegang tangan ibunya, maka ibunya meninggalkan tempat dengan anaknya. Yang dimaksud dengan sumur Abi Inabah adalah: suatu sumur tertentu, jelasnya di tempat yang jauh. Maksudnya adalah: bahwa anaknya sudah besar, sudah bisa mandiri dan memberikan manfaat bagi ibunya, setelah dididik sejak kecil.
(96)  Bahw orang yang mengasuh harus muslim, bila yang diasuh muslim.
(97)  Berdasarkan sabda Rasulullah saw.: “Selama belum menikah lagi”, perhatikan CK. No: 94.

Tidak ada komentar:
Write komentar