TIDAK DIPERBOLEHKAN MAIN HAKIM SENDIRI TERHADAP PENCURI

 

PERTANYAAN :
mencuri adalah hal yg dilarang oleh negara dan agama.perncuri tidak selamanya sakti dan selamat, kertika pencuri tertangkap basah tentu saja kegeraman warga spontan naik, sehingga apapun yg dapat diluapkan di ekpresikan seketika, pukulan tendangan cacian ludahan, bahkan mengencingi pun bisa saja terjadi. Pertanyaanya adalah :
1.BAGAIMANA HUKUMNYA MEMUKULI PENCURI YG KETANGKEP BASAH?
2.PENGAKUAN PENCURI ATAS PRILAKUNYA KARENA SETELAH ADANYA PAKSAAN ATAU ANCAMAN DAN SEJENISNYA. APAKAH PENGAKUANNYA DI ANGGAP SAH ? 
JAWABAN :

1.Pencuri tersebut tetap tidak boleh dihakimi sendiri apalagi dibunuh baik secara perorangan atau secara massa, dan bila dilakukan pembunuhan atasnya meskipun secara massa dikenakan hukum qishas atas mereka.
2.Pengakuan akibat dipaksa tidak berdampak pada hukum pidana bagi pelaku secara syariat islam apabila pemaksaanya memenuhi beberapa ketentuan yang berlaku.
ثم ) إن سرق بعد قطع ما ذكر ( عزر ) ولا يقتل... ومن سرق مرارا بلا قطع لم يلزمه إلا حد واحد على المعتمد فتكفي يمينه عن الكل لاتحاد السبب فتداخلت
Kemudian bila ia masih mencuri kembali setelah dijalankan hukum potong (tangan/kaki) maka ia dita’zir dan tidak boleh dibunuh....Barang siapa yang mencuri berulang-ulang tanpa terkenai hukum potong maka tidak terhukum potong kecuali hanya satu hukum had (potong tangan kanan saja) menurut pendapat yang dapat dijadikan pegangan dan kuat, maka cukuplah tangan kanannya atas anggauta tubuh lainnya karena tunggalnya tindakan kriminal. [ Fath al-Mu’in IV/163 ].
( قوله ويقتل جمع بواحد ) أي بقتلهم واحدا لكن بشرط وجود المكافأة ويجب على كل واحد كفارة ( قوله كأن جرحوه جراحات ) أي كأن جرح الجمع واحدا جراحات بمحدد أو بمثقل وقوله لها أي للجراحات وقوله دخل في الزهوق أي خروج الروح وأفاد بهذا أنه لا يشترط أن تكون كل واحدة من الجراحات تقتل غالبا لو انفردت بل الشرط أن يكون لها دخل في الزهوق وخرج به ما لو لم يكن لها دخل في الزهوق بأن كانت خفيفة بحيث لا تؤثر في القتل فلا اعتبار بها ولا شيء على صاحبها
(Keterangan dan dibunuh sekelompok masa akibat pembunuhan atas diri seseorang) hanya saja disyaratkan terjadinya mukafaah (persamaan dalam penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang) dan masing-masing dikenakan denda kriminal.(Keterangan seperti saat mereka melukainya dengan berbagai luka tubuh) artinya sekawanan masa tersebut melukainya dengan berbagai luka tubuh dengan memakai benda tajam atau alat berat.(Keterangan berbagai luka tubuh) yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, dengan demikian tidak disyaratkan untuk terjadinya hukum qisas bagi masa tersebut tidak diharuskan masing-masing harus melakukan penganiaayaan yang penganiayaannya dalam kadar dapat mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang bila sendirian namun cukup masing-masing dari mereka ikut andil dalam kriminal yang mengakibatkan terbunuhnya seseorang. [ I’aanah at-Thoolibiin IV/119 ].
والخلاصة: اتفق الشافعية والحنابلة على شروط ثلاثة للإكراه هي:أولاً ـ قدرة المكره على تحقيق ما هدد به بسلطان أو تغلب كاللص ونحوه.وثانياً ـ عجز المستكره عن دفع الإكراه بهرب أو غيره، وأن يغلب على ظنه نزول الوعيد به إن لم يجبه إلى ماطلبه.وثالثاً ـ أن يكون مما يستضر به ضرراً كثيراً كالقتل والضرب الشديد، والقيد والحبس الطويلين، وإتلاف مال ونحوه. أما الشتم أو السب فليس بإكراه.واشترط الشافعية أيضاً أن يكون الإكراه بغير حق.
[ RINGKASAN ] Kalangan Syafi’iyyah dan Hanabilah sepakat untuk dapatnya dikatakan ‘terpaksa’ harus memenuhi beberapa syarat :
1.Kemampuan pihak pemaksa untuk mewujudkan ancamannya sebab ia penguasa atau punya kemampuan mengalahkan seperti perampok dan sejenisnya
2.Ketidakberdayaan pihak yang dipaksa untuk melawannya dengan melarikan diri atau lainnya dan ia percaya akan menerima segala bentuk ancamannya bila tidak memenuhi tuntutan pihak pemaksa

3.Jenis ancaman berupa sesuatu yang membuat pihak yang dipaksa mengalami bahaya yang sangat berat seperti pembunuhan, pemukulan kasar, diikat, disekap, dirusak hartanya dan sejenisnya, sedangkan ancaman berupa umpatan, cacian maka tidak tergolong ancaman.Kalangan Syafi’iyyah menambahkan dari syarat diatas “Paksaannya bukan terhadap perkata hak”. [ Al-Fiqh al-Islaam VI/528 ]. Wallaahu A'lamu Bis Showaab.

Tidak ada komentar:
Write komentar